3.|Kerinduan dan Kepedihan yang Tersembunyi

4.6K 291 1
                                    

Pukul setengah sebelas malam, Jivan akhirnya sampai di rumah, tubuhnya lunglai setelah seharian penuh bekerja. Keringat yang mengalir dari lehernya meresap di seragam sekolah yang masih ia kenakan.

"Jivan pulang," sapanya pelan, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Keheningan yang menyambut membuat hatinya tertekan, sepi. Rumah itu begitu sunyi. Mungkin ayahnya sudah tertidur, mengingat malam sudah larut.

Jivan berjalan perlahan ke kamar ayahnya, hatinya diliputi rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang. Saat ia membuka pintu dengan hati-hati, pandangannya langsung tertuju pada tubuh kurus ayahnya yang terbaring di ranjang, terlelap dalam tidur yang tampak damai. Napas pria tua itu terdengar pelan, teratur, seolah hidup mereka baik-baik saja.

"Sehat terus ya, Yah," bisik Jivan dalam hati, menatap wajah ayahnya yang tampak begitu lelah. "Kalau Ayah pergi... Jivan bakal sendirian." Kata-kata itu nyaris tidak sanggup ia selesaikan. Jivan menahan napas, tak ingin air mata yang ia tahan sejak lama akhirnya jatuh di tempat itu. Dengan perasaan campur aduk, ia menutup pintu perlahan dan berbalik pergi.

Di dapur, Jivan membuka lemari makanan. Tak ada yang istimewa, hanya sisa nasi dan sayur dari pagi yang sudah agak dingin. Tanpa banyak berpikir, ia mengambil piring dan mulai makan. Setiap suapan terasa hambar, tetapi rasa lapar tak memberinya pilihan.

"Hah... lelah sekali," keluhnya lirih, bahunya terasa pegal setelah seharian bekerja di toko Paman Lim. Jivan memijat bahunya sendiri, berusaha meredakan nyeri yang merayap di setiap sendi.

Setelah makan, ia memeriksa bahan makanan yang ada di dapur. Di pojok lemari, ada seikat sayuran yang tampaknya diberikan oleh neneknya. Dia tersenyum tipis. Nenek dan kakeknya tinggal cukup jauh dari rumahnya, tetapi mereka tak pernah lupa memberi bantuan meski hidup mereka juga tak mudah. Terkadang Jivan berharap bisa tinggal bersama mereka, jauh dari segala masalah dan beban yang tak kunjung selesai di rumah ini.

Setelah memastikan semua beres, Jivan menyeret kakinya yang lelah menuju kamar. Ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur yang dingin dan keras, tak berniat untuk membersihkan tubuhnya. Di dalam keheningan malam, ia menatap langit-langit kamar yang kosong, pikirannya mulai melayang-layang.

Rasa rindu yang selama ini ia pendam perlahan muncul lagi. Kakaknya, yang sudah lama tak terdengar kabarnya. Jivan merasakan perih di dadanya setiap kali teringat. Janji-janji yang dulu diberikan kakaknya kini hanya tinggal kenangan.

"Kak Novan." Jivan bergumam pelan, hampir seperti berbisik, "Jivan rindu... Kakak jahat... nggak nepatin janji." Suaranya bergetar, hatinya terisi penuh dengan kekecewaan yang selama ini ia coba sembunyikan.

Kenangan akan janji-janji kakaknya terlintas di benaknya. Dulu Novan berkata mereka akan selalu bersama, tak akan saling meninggalkan. Namun, sekarang, Novan pergi, entah ke mana, tanpa kabar, tanpa pesan.

Jivan menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Semoga kabar Kakak baik di sana," ucapnya, meskipun ia sendiri tak yakin apakah kakaknya mendengar. "Jivan akan selalu ingat Kakak."

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan, membasahi pipinya. Jivan menutup matanya, mencoba melupakan sejenak kesedihan yang terus menghantui pikirannya. Namun, malam itu terasa terlalu panjang dan penuh dengan kerinduan yang tak terjawab.

***

"Aku pulang!" seru Melvin begitu masuk ke dalam mansion megah yang kini menjadi rumahnya. Suara lantangnya menggema di ruangan luas itu, tetapi tak ada sahutan. Di sudut ruangan, Melvin melihat Novan, kakaknya, tengah sibuk dengan laptopnya, fokus menatap layar seolah dunia di sekitarnya tak ada.

Jejak yang Tak PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang