Ini bukan cerita tentang manisnya romansa antara dua insan. Ini hanyalah cerita tentang keluarga—sebuah ikatan yang tak terputus, meski terkadang terasa retak. Keluarga adalah sesuatu yang penting untuk dimiliki, yang tidak akan pernah hilang dan selalu ada saat dibutuhkan, atau setidaknya, itulah yang Jivan yakini.
Jivan, remaja yang kini berusia 17 tahun, masih menuntut ilmu di tingkat dua sekolah menengah atas. Dia tinggal berdua bersama ayahnya di desa yang tenang, tetapi penuh kenangan pahit. Ibunya sudah berpulang ke rumah Tuhan bertahun-tahun lalu, meninggalkan lubang yang tak pernah sepenuhnya tertutup. Jivan memiliki seorang kakak, Novan, yang kini hidup di gemerlap ibu kota. Kakaknya itu sudah sukses, seorang aktor terkenal. Namun, kesuksesan itu membawa jarak yang kian melebar di antara mereka.
Novan tak pernah sekalipun pulang, bahkan tak pernah mengirimkan uang. Janji untuk kembali sudah lama terucap, tetapi hanya tersisa gema kosong yang bergulir seiring waktu dan Jivan? Dia tetap menunggu.
Kriing! Kriing!
Bunyi alarm menggema, mengusik keheningan subuh. Jivan yang masih tenggelam dalam mimpi membuka matanya dengan berat. Dia memandangi jam di meja, jarum menunjuk pukul 5 pagi. Matahari belum menampakkan sinarnya, namun rutinitas sudah menantinya.
Dengan sedikit desahan, Jivan meregangkan tubuhnya, mematikan alarm, lalu bangkit dari tempat tidur yang sudah usang. Ditariknya selimut, merapikan setiap sudutnya dengan gerakan yang begitu akrab—sebuah kebiasaan yang ia pelajari sendiri, tanpa ada yang mengajarkannya.
Langkah kaki Jivan membawanya ke jendela. Ditariknya tirai, dan saat jendela terbuka, udara pagi yang dingin menyapa wajahnya. Langit masih kelabu, dan jalanan desa sepi. Di kejauhan, terdengar suara ayam jantan berkokok.
Senyum tipis muncul di bibirnya, meski hati kecilnya terasa berat. "Andai saja Kakak ada di sini..." bisiknya lirih, tetapi angin yang berhembus terlalu dingin untuk mengirimkan pesan itu.
Jivan terdiam sejenak, merenung di hadapan jendela. Wajahnya mencoba memancarkan kekuatan, tapi ada sesuatu yang rapuh di balik senyuman tipis itu—sebuah penantian yang mungkin tak berujung.
"Ah, aku harus cepat," gumamnya tiba-tiba, mencoba mengalihkan pikirannya. Meski harus bergegas, sesekali dia memang larut dalam lamunan. Lamunan tentang sosok kakak yang dahulu mengajaknya berlari di sawah, tentang janji-janji yang tak pernah ditepati.
Dengan sedikit berlari, Jivan menuju dapur. Dapur kecil itu sudah menjadi saksi bisu segala rutinitasnya. Meski usianya masih muda, Jivan sudah terbiasa memasak sendiri. Tidak ada yang spesial di meja hari ini, hanya sayuran yang dibelinya kemarin sore. Namun, setidaknya, makanan itu hangat.
Saat panci terakhir mendidih, Jivan menata makanan di atas meja. Ayahnya, Janu, sudah duduk di sana, menatap putranya dengan sorot mata penuh kasih sayang yang samar, tetapi Jivan tak menyadarinya.
"Pagi, Ayah," sapa Jivan, suaranya lembut namun terdengar sedikit kosong, seolah sarapan sederhana itu adalah pengulangan hari-hari yang sama.
"Pagi juga, Nak," balas Janu lembut. Suaranya serak, mengandung kelelahan yang sulit disembunyikan, tapi ada kebanggaan di dalamnya. "Kamu memasak lagi hari ini?"
"Ya, Ayah... Tidak ada yang istimewa, hanya ini yang bisa Jivan masak." Jivan mencoba tersenyum, meski rasa bersalah menggantung di benaknya. "Maaf... kalau rasanya kurang enak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak yang Tak Pulang
FanfictionJivan selalu menanti janji kakaknya, Novan, yang bertekad merantau ke ibu kota demi meraih kesuksesan. Bertahun-tahun berlalu, Novan kini menjadi nama besar di dunia hiburan, wajahnya terpampang di layar kaca, tetapi sosoknya tak pernah kembali ke r...