4.|Kepergian yang Tak Terduga

2.2K 216 8
                                    

Pagi itu seperti biasanya, Jivan bangun dengan semangat. Dia langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan bagi dirinya dan ayahnya. Sudah menjadi rutinitas mereka berdua untuk makan bersama sebelum ayahnya pergi bekerja.

Namun, ada yang terasa janggal. Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih, tetapi tidak ada tanda-tanda ayahnya bangun. Biasanya, ayahnya sudah lebih dulu duduk di meja makan atau setidaknya sudah bersiap-siap di kamar.

Perasaan tak nyaman mulai merayapi dada Jivan. Ia memutuskan untuk mengecek ke kamar ayahnya.

Pintu kamar sedikit terbuka. Jivan melangkah pelan masuk dan melihat ayahnya masih tertidur membelakangi pintu. Tak ada suara atau gerakan sedikit pun. Jivan mendekat, menggoyangkan lengan ayahnya sambil memanggil, "Ayah..."

Tak ada jawaban. Jevan mencoba lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras. "Ayah, ayo bangun. Jivan sudah menyiapkan sarapan." Namun, masih tidak ada reaksi.

Dengan hati-hati, Jivan menarik bahu ayahnya agar menghadap ke arahnya.

Deg

Dunia seolah berhenti berputar. Jantung Jivan berdetak kencang, dan air matanya langsung tumpah saat melihat wajah ayahnya yang pucat dan kaku. Badannya terasa dingin. Ayahnya tak bergerak, tak bernapas.

"Ayah... Ayah... Kenapa?" Jivan terguncang, suaranya pecah dalam isakan. Tangannya gemetar, menggoyangkan tubuh ayahnya sekuat tenaga, berharap bisa membangunkannya. "Ayah, bangun... Ini Jivan Ayah... Ayah..."

Kepanikan menguasainya. Tanpa pikir panjang, Jivan berlari keluar rumah, kakinya tak beralas, menyusuri jalanan menuju rumah nenek dan kakeknya. "Ayah... tolong, Ayah..." batinnya berteriak, sementara langkah kakinya semakin cepat, napasnya terengah-engah.

Di tengah jalan, rasa nyeri di dada kanannya kembali muncul. Jivan meringis kesakitan, tangannya memegang dadanya yang terasa sesak. Namun, dia mengabaikan itu. Yang terpenting sekarang adalah mencari bantuan untuk ayahnya.

Tok tok tok

"Nenek! Kakek! Tolong..." Jivan memukul-mukul pintu rumah neneknya dengan keras, suaranya histeris. Nenek dan kakeknya yang mendengar panggilan itu langsung tergopoh-gopoh membukakan pintu.

Begitu melihat Jivan, neneknya langsung terkejut. Penampilan Jivan kacau balau. Matanya bengkak karena menangis, kakinya tak beralas, dan wajahnya penuh kepanikan.

"Astaga, Jivan, ada apa sayang?" tanya kakeknya panik, meraih pundak Jivan.

"Ayah... Tolong Ayah, Kek..." Jivan berusaha bicara, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Air matanya terus mengalir deras, membuatnya semakin sulit berbicara.

"Ssst... tenang, sayang. Ceritakan perlahan, Ayah kenapa?" Neneknya mencoba menenangkan, menarik Jivan ke dalam pelukannya.

Namun, Jivan segera melepaskan pelukan neneknya. "Ayah, Nek... ayah nggak bergerak... Jivan takut... Ayah dingin sekali... Cepat ke rumah... Tolong..."

Mendengar kata-kata Jivan, wajah nenek dan kakeknya langsung berubah pucat. Mereka saling bertukar pandang sejenak, dan tanpa berpikir panjang, mereka segera berlari menuju rumah Jivan.

***

Duka mendalam menyelimuti Jivan. Ayahnya, sosok yang selama ini menjadi penopang hidupnya, dinyatakan meninggal dunia tadi pagi. Saat mendengar kabar itu, Jivan terkejut luar biasa, bahkan sempat pingsan karena tak mampu menahan beban kesedihan yang menghimpit.

Warga sekitar berbondong-bondong datang untuk menyampaikan bela sungkawa dan melayat. Suasana pemakaman begitu khidmat, tetapi rasa kehilangan itu terus menggerogoti hati Jivan.

Jejak yang Tak PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang