2.| Dalam Hening yang Membisikkan Rindu

4.4K 137 0
                                    

"Dek, tolong bangun... jangan tinggalkan Kakak... Kakak mohon... maafkan Kakak..." Suara Novan terdengar penuh haru, suaranya bergetar, sementara air mata mulai mengalir deras di pipinya. Dia memeluk tubuh 'adiknya' dalam akting penuh kesedihan, matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam.

Matanya yang berkaca-kaca menatap wajah 'adiknya' yang tak lagi bergerak. Di dalam hatinya, dia merasa benar-benar tenggelam dalam peran. Semua penonton di lokasi syuting menahan napas, merasakan kesedihan yang terpancar begitu nyata dari akting Novan.

"Cut! Akting yang luar biasa, Novan! Kerja bagus!" Suara sutradara memecah keheningan, tetapi pujian itu bukan tanpa alasan, bahkan setelah instruksi sutradara, ada beberapa kru yang masih terdiam, terpengaruh oleh emosi yang baru saja dilihat.

Novan perlahan mengendurkan pelukannya, seolah baru terlepas dari dunia emosional yang dalam. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa keterlibatan perasaan yang kuat.

"Terima kasih, Pak," ucap Novan sambil tersenyum, meski wajahnya masih basah oleh air mata. Dia membungkukkan badan dengan sopan, rasa lega menyelinap di balik rasa bangga yang mulai membuncah.

Marva, yang selalu siap sedia, segera mendekat. "Kak Novan, sini duduk dulu. Minum dulu, Kak," ujar Marva sambil menyerahkan botol air minum, membimbing Novan ke kursi. Tatapannya penuh kekaguman, tidak hanya karena bakat akting Novan, tetapi juga keteguhan mentalnya.

"Aktingmu tadi sangat keren, Kak. Sumpah, aku terharu banget, kayak nyata. Rasanya aku mau nangis juga," ujar Marva, suaranya masih terdengar sedikit bergetar, masih tersentuh oleh adegan tadi.

Novan mengusap air matanya yang tersisa di pipi dan dengan bangga menegakkan badannya. "Ah, tentu saja. Tidak perlu diragukan lagi. Akting seperti itu sudah jadi makanan sehari-hari buatku," jawab Novan dengan senyum puas.

Stylist yang sibuk mengelap keringat dari dahi Novan hanya menahan tawa kecil, sementara dia juga merapikan pakaian yang sedikit berantakan akibat adegan penuh emosi tadi. Marva hanya bisa menggelengkan kepala.

"Ya ampun, Kak, percaya diri kamu itu nggak ada tandingannya. Kamu memang luar biasa," sindir Marva dengan nada bercanda, tetapi dia tahu Novan selalu serius dengan ucapannya.

"Hei, kalau kamu sudah bekerja di dunia ini selama delapan tahun sepertiku, kamu juga akan tahu bagaimana rasanya," kata Novan, tersenyum bangga. Matanya menyipit, wajahnya sedikit berkilau oleh sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela studio.

Marva terkekeh, lalu mengalihkan pandangannya ke sutradara yang sudah mempersiapkan adegan berikutnya. "Baiklah, Kak, nanti kita lanjut ya. Jangan lupa, masih ada dua adegan lagi. Jaga stamina," ingat Marva.

Novan mengangguk, merasa lebih tenang. Namun, di dalam hatinya, peran yang baru saja dimainkannya masih menggantung. Adegan itu entah bagaimana membuatnya berpikir tentang seseorang. Tentang adik yang selama ini dia abaikan. Wajahnya berubah serius sejenak, pikirannya berkelana. Sesaat itu, Novan merasakan sesuatu yang tidak bisa dia abaikan, seolah-olah adegan yang baru saja diperankannya adalah cermin dari kehidupannya sendiri.

Namun, secepat kilat, Novan menepis pikiran itu dan mengembalikan senyumnya yang penuh percaya diri. "Siap, bos! Let's do this!"

***

"Coba sebutkan salah satu kelainan jantung. Yang tahu, angkat tangan!" seru seorang guru wanita sambil berjalan mengelilingi kelas, matanya menyapu seluruh ruangan, mencari perhatian para murid. Suaranya tegas, tetapi penuh semangat, membuat semua mata langsung tertuju padanya.

Salah satu murid di barisan depan mengangkat tangan, penuh percaya diri. "Penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah kondisi ketika pembuluh darah jantung tersumbat oleh timbunan lemak. Bila lemak makin menumpuk, maka arteri akan makin menyempit dan membuat aliran darah ke jantung berkurang," ucap murid tersebut dengan lancar dan jelas.

Jejak yang Tak PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang