Pluto pulang dengan perasaan lelah yang lebih akut dari biasanya. Nggak cuma lelah fisik, tapi otak juga. Rasanya hari ini begitu padat, pekat, dan... berat.
Keadaan rumah yang kosong melompong juga tidak membantu. Ke mana lagi sih, Kak Tami? pikirnya.
Satu-satunya benda yang menyambut kedatangan Pluto adalah sebuah kotak paket berbungkus selotip cokelat yang tergeletak di depan pintu rumahnya—bertuliskan jelas nama kakaknya selaku penerima: Tami Sal Aditya.
Nggak mau ambil pusing, Pluto lantas mengambil paket itu sebelum masuk rumah. Paket tersebut nggak begitu berat, nggak ringan juga. Pluto menebak-nebak kira-kira apa isinya; skin care kah? Atau make-up? Hmmm, nggak biasanya Kak Tami beli barang lewat online.
Tapi meskipun penasaran, Pluto masih menghormati privasi kakaknya. Sang adik lantas meletakkan paket tersebut di meja ruang tamu.
Pluto langsung menuju kamarnya untuk rebahan. Kepalanya sudah cukup pening tanpa harus memikirkan tingkah laku kakaknya yang sekarang entah sedang berada di mana itu.
Pluto sangat siap untuk mengistirahatkan otaknya, melepaskan kesadaran ke level alpha—tidur. Begitu banyak kereta pikiran yang berseliweran dalam tempurung kepala cowok itu, tapi dia tetap berusaha memejamkan mata. Pluto lelah.
Saat napasnya sudah mulai teratur, pikiran terkendali, dan kantuk mulai menghinggapi, tiba-tiba saja kelebatan kata-kata menggema di dalam kepalanya.
"... kakak dapet info, kalau bajingan yang jadi penyebab kecelakaan Ayah sama Bunda udah bebas dari penjara..."
"... papanya Ocha itu... pernah ngebunuh orang..."
"... selama Papa menghabiskan waktu di... ekhmm—berpikir, Papa mulai mengevaluasi semuanya. Setelah akhirnya Papa... bebas, Papa memutuskan untuk menata ulang hidup Papa. Start a new life..."
Kini Pluto terjaga sepenuhnya. Berharap setengah mati kalau prasangkanya itu adalah sebuah kesalahan hakiki. Mustahil. Nggak mungkin banget kalau...
Pluto nggak sanggup menyelesaikan pikirannya sendiri. Cowok itu memutuskan semua teka-teki ini harus tuntas sampai tandas. Dan untuk itu, Pluto tau persis siapa yang harus dia temui: Melvin Tjahyadewa.
🌑
"Kenapa kamu baru cerita sekarang, Cha??"
Mama Riris mondar-mandir mengitari ruang tengah unit apartemen, sementara Kak Arta duduk di atas sofa sambil mengelus-elus Macican dengan khusyuk—berusaha menenangkan diri, terapi kucing.
"Maafin Ocha, Ma, Kak... Ocha nggak cerita karena nggak mau bikin Mama sama Kak Arta khawatir," gumam Charon sambil menundukkan kepala.
Gadis itu baru saja menumpahkan semua pada mamanya dan Kak Arta. Semuanya.
"Mbak Ris, ini kita... jadi ambil keputusan apa, Mbak?" tanya Kak Arta sambil tak berhenti mengelus punggung kucingnya.
Mama Riris masih mondar-mandir, menggigit bibir dan melipat telunjuk di dagu, tampak sedang berpikir keras.
"Solusi efektif dari tindak pem-bully-an di sekolah itu ya kita harus turun tangan langsung, Ta! Itu tugas kita sebagai orang tua Ocha. Kurang ajar memang! Bisa-bisanya anakku sampai dikurung di gudang! Kita harus usut masalah ini sama pihak sekolah!"
Mama Riris tampak geram, sementara Kak Arta menggeleng dengan yakin.
"Mbak, dipikir dulu, Mbak... si Lala itu anaknya Ketua Yayasan loh. Bakal susah kalau kita—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidally Locked (𝘌𝘕𝘋)
Ficção AdolescenteWork ini BELUM DIREVISI. Mohon maap masi acakadut 🙏🏻 ** Apa yang akan terjadi ketika semesta mempertemukan cewek baru yang terlampau ramah dengan cowok senior paling bermasalah? Charon : Murid pindahan baru di kelas XI SMA Magella. Selalu disukai...