00 · Momentum

822 111 261
                                    

Langit sore selatan Jakarta menaungi kediaman keluarga Aditya. Sang Ayah—Pak Fajar, berjalan memasuki rumah sambil mengucap salam. Pria yang berprofesi sebagai pengacara itu baru saja menunaikan tugasnya di Pengadilan Negeri.

"Assalamualaikum penghuni rumah..." Tak ada jawaban.

Pak Fajar melonggarkan dasinya dan menaruh tas koper sembarangan di atas meja makan.

"Udah pulang, Yah? Ehh, itu! Tas-tas! Ga boleh di atas meja!" Suara wanita menyambut dari arah dapur, memasuki ruang makan sambil membawa sepiring besar ikan gurame goreng. Sang first lady—Bu Ertha—telah tiba.

"Ayah ngelanggar peraturan tuh, Bun! Siap-siap aja suruh beliin kita tiket ke Disneyland!" Gadis muda dengan mata bundar bergabung, membawa sayur bening di mangkok besar. Dia adalah si sulung keluarga Aditya, Tamara—Kak Tami.

"Aduhh ampun, kenapa Ayah malah dikeroyok begini nih? Hahaha." Pak Fajar tertawa sambil buru-buru menyingkirkan tas kopernya. Sang istri mengecup pipi suaminya sekilas.

"Panggil adik kamu gih, Tam. Udah siap nih makannya," pinta sang Bunda seraya mulai menata piring.

"Siap ibu negara!" Tami memberi hormat sebelum berlari menaiki tangga.

Tok-tok-tok.

"Pluto... kamu di dalem?" Suara Tami mengiringi ketukan di pintu kamar adik laki-lakinya, Pluto. Tak ada jawaban dari dalam.

"Plut? Oy, Kakak masuk ya..."

Cklek.

Nihil. Pluto nggak ada di kamarnya.

Tami menggeram sebentar sebelum menutup pintu kamar sang adik. Langkah kaki membawa si sulung Tami kembali ke lantai bawah, berbelok ke arah depan, melewati ruang tamu, dan membuka sebuah pintu berukir kayu jati.

"Hoi!" sentak Tami, mengagetkan sesosok remaja laki-laki yang sedang asyik memperhatikan ayunan pendulum Newton di atas meja. Pluto berdecak kesal.

"Apa-apaan sih kak," protesnya. "Ketok dulu napa."

"Emangnya ini kamar kamu? Ini kan kantor Bunda," celetuk Tami sambil mengitari ruangan.

Tami benar. Ruangan ini adalah kantor khusus yang kerap digunakan Bu Ertha menerima pasien-pasiennya. Bunda dua bersaudara itu merupakan Psikolog klinis yang membuka praktik di rumah. Ukiran nama besi terbaca di atas meja, 'Ertha Maria Aditya, M.Psi.' Di tengah dinding belakang kursi, terdapat sebuah cross—salib kayu yang tersemat, tanda keimanan terhadap Kristus.

Ornamen lain yang menghiasi ruangan ini memberi kesan layaknya planetarium mini. Terdapat lampu kristal yang berlapiskan kaca oranye tergantung di langit-langit, bak matahari, yang dikelilingi planet-planet kecil disekitarnya. Bagian atas ruangan juga dicat biru gelap, bercampur ungu dan tosca, berbintik putih, melukiskan Bima Sakti. Tampak sekali, Bunda adalah seseorang yang tergila-gila astronomi.

Ini adalah tempat favorit Pluto di rumah. Bukan hanya karena tata ruangnya yang unik, modem internet yang membuat jaringan Wifi ngebut lancar, atau AC yang menyamankan sejuk suhu ruangan. Pluto biasa menghabiskan waktu berjam-jam membaca komik sambil tiduran di sofa 'pasien', atau menjelajah internet di komputer Bunda yang tidak di-password.

Selain itu, hal yang membuat Pluto tak jemu berlama-lama di ruangan ini adalah perasaan yang tak kasat mata; ketenangan,  kenyamanan, dan rasa aman. Kenyataan bahwa ada orang-orang asing yang mempunyai kondisi seperti dirinya—berbeda, datang ke tempat ini demi pergi dengan perasaan lebih baik, membuat Pluto merasa betah. Pluto merasa dirinya tidak sendirian. This room is a safe place.

Tidally Locked (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang