Bagian 2

231 34 119
                                    

🥰

***

Saat bel istirahat berbunyi, aku ragu-ragu untuk turun ke kantin. Di sana pasti ramai dan aku takut di-bully. Tapi, aku tidak punya pilihan. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena pergi terburu-buru. Sekarang aku lapar.

Begitu aku dan Sherly masuk ke kantin, tatapan semua orang langsung mengarah padaku. Suara denting sendok-sendok dan riuh percakapan mendadak lenyap.

Hening.

Lalu seseorang batuk.

Suara riuh percakapan itu terdengar lagi. Aku berusaha untuk bersikap biasa saja dan menulikan telinga. Berusaha untuk tidak peduli dengan tatapan dan bisik-bisik mereka.

Aku kuat, kuucapkan kata-kata itu pada diriku sendiri di dalam hati. Aku pasti bisa melalui hari ini.

Aku dan Sherly duduk di sebuah meja yang baru saja dikosongkan dengan sengaja oleh beberapa orang yang sebelumnya duduk di sana. Orang-orang yang tadi kami lewati menutup hidung mereka, seolah-olah aku benar-benar bau ketek seperti yang ditulis Kyo.

Hei, Rahel lewat. Lindungi paru-paru kalian. Bau keteknya menyebabkan polusi udara. Kubayangkan mereka bicara seperti itu.

Nasi goreng dan es teh pesanan kami diantarkan beberapa saat kemudian. Kami menyantapnya dalam diam.

"Wah wah," Suara lantang seorang cowok terdengar. "Ada Rahel bulu ketek nih."

Apa? Rahel bulu ketek? Seumur hidup tidak pernah terpikirkan olehku akan mendapatkan julukan superjelek seperti itu.

Aku tidak menoleh dan pura-pura tidak mendengar.

Cowok itu kemudian duduk di sebelahku, teman-temannya pun ikut bergabung. Sekarang kami dikelilingi oleh cowok-cowok berandalan. Aku merasa risi dan kulihat Sherly juga sama risinya denganku.

"Aku mau dong bulu ketekku lurus bagai direbonding." Tangannya terulur untuk mengambil kerupuk di piringku.

Aku menoleh padanya. Kuberikan dia tatapan yang mengisyaratkan bahwa aku sangat terganggu dengan kehadiran mereka. Bahwa aku ingin mereka pergi sekarang juga, sejauh-jauhnya.

"Aku juga," cowok lainnya berkata. "Minta dong bibit bulu keteknya."

Kemudian mereka semua tertawa. Keras-keras.

Makananku baru habis separuh. Tapi aku sudah kehilangan selera. Aku menatap Sherly dan dia balas menatapku. Sherly langsung mengerti. Kami buru-buru menghabiskan es teh dan keluar dari kantin.

"Kalian mau ke mana?"

"Bulu keteknya dibagi-bagi napa?"

Kudengar seisi kantin tertawa.

Dan kusadari bahwa aku ingin menangis.

***

Aku bersyukur punya teman yang begitu peduli seperti Yogi. Dia khawatir aku akan di-bully oleh murid-murid dari sekolah lain saat berpapasan di jalan. Jadi dia menawarkan tumpangan saat pulang.

"Maafin aku Rahel," dia berkata saat kami melaju di jalanan. "Seharusnya tadi pagi aku belain kamu. Tapi...."

Aku mengerti kalau Yogi tidak berani melawan Kyo. Dia bisa babak belur dihajar Kyo kalau memaksakan diri.

"Nggak apa-apa, Yogi," sahutku. "Kamu nggak salah kok."

Aku langsung mengempaskan tubuh di atas kasur begitu berada di dalam kamar. Wajahku kubenamkan sedalam-dalamnya ke bantal. Hari ini sangat menyebalkan.

"Aaaaaaa! Berani banget dia mempermalukanku kayak gitu. Dia pikir dia siapa? Aku benci dia! Aku benci diaaaaaa!" Aku memukul-mukul bantal dan kasur sekuat tenanga.

"Rahel!" seru ibu.

"Eh?" Aku mengangkat kepala, menoleh pada Ibu yang berdiri di ambang pintu kamar. Sorot matanya menyelidik.

"Kamu kenapa sih?" tanya Ibu. "Kenapa kamu berteriak-teriak?"

"Mmm...." Aku duduk sambil memeluk bantal. "Nggak kenapa-napa Bu. Semuanya baik-baik aja kok."

Sial! Jawaban macam apa itu. Apanya yang baik-baik saja jika aku berteriak-teriak seperti tadi. Harusnya aku bisa memikirkan jawaban yang lebih masuk akal. Oh, tidak! Kalau sudah seperti ini, Ibu akan mencercaku dengan berbagai macam pertanyaan dan berceramah selama berjam-jam.

"Jangan-jangan, ini ada kaitannya dengan cowok?" Ibu menyipitkan matanya, menatapku lekat-lekat.

"Nggak, nggak," aku buru-buru menukas. "Ini nggak seperti yang Ibu pikir."

Ibu memejamkan mata sejenak dan menghela napas dalam-dalam. "Rahel! Berapa kali Ibu harus bilang? Kamu nggak boleh pacaran selama masih sekolah. Kamu itu harus mengerti dengan yang namanya prioritas. Dan prioritas kamu sekarang ini adalah pendidikan. Dengan berbekal pendidikan, kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan nanti. Nggak kayak kehidupan kita sekarang ini.

"Ayah bekerja keras mencari uang agar kamu dan Bella bisa sekolah setinggi mungkin. Kamu punya otak yang cerdas, Rahel. Kamu pasti bisa jadi dokter dan masa depan kamu akan cerah. Tolong jangan sia-siakan kerja keras Ayah selama ini. Ibu mohon."

Ibu berhenti bicara. Ekspresi wajahnya gabungan dari marah dan kecewa.

Aku tertunduk dalam-dalam. Tidak tahu harus berkata apa.

Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu, aku dan adik perempuanku yang bernama Bella. Ayah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan hanya seorang karyawan biasa. Gajinya tidak banyak. Tapi cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari.

Ibu pernah menyulap ruang tamu rumah kami mejadi sebuah salon sewaktu aku masih kelas 4 SD. Dari kerja keras Ibu itulah akhirnya kami bisa membeli kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak akan terbeli hanya dengan mengandalkan gaji Ayah.

Aku sering mengamati Ibu saat memotong rambut pelanggan. Dan pada suatu hari, aku berpura-pura jadi Ibu sementara Bella memainkan peran sebagai pelanggan. Bella yang saat itu masih berumur enam tahun menurut saja saat aku bilang ingin memotong rambutnya. Dia sama sekali tidak menyadari, bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa rambut panjangnya yang indah.

Ibu murka sekali hari itu. Dan untuk pertama kalinya, Ibu memukulku. Aku menangis sekeras-kerasnya dan berusaha membela diri, bahwa sebenarnya aku ingin belajar memotong rambut seperti yang Ibu lakukan. Aku ingin membantu Ibu melakukan pekerjaannya agar Ibu tidak terlalu lelah. Saat mendengar aku berbicara seperti itu, Ibu langsung berhenti memukulku. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ibu memelukku kuat-kuat dan kemudian berbisik, "Maafin Ibu, Rahel. Maafin ibu. Soal bekerja mencari uang, biarlah itu jadi urusan Ibu dan Ayah. Tugas kamu adalah bersekolah, belajar...."

Akan tetapi, saat aku kelas 8 SMP, salon Ibu terpaksa harus ditutup. Ibu dan Bella mengalami kecelakaan sepeda motor. Tulang belakang Ibu cedera dan membuatnya kesakitan jika berdiri lama-lama. Sedangkan Bella, kepalanya terbentur cukup keras di aspal. Sejak saat itu dia menjadi susah fokus dalam belajar.

Suara ketel yang meraung-raung menyela lamunanku.

Ibu menghela napas panjang, kemudian pergi ke dapur

Mataku terasa panas oleh air mata.

Aku ngerti, Bu. Aku nggak bakalan ngecewain Ibu dan Ayah.

***

🥰

Save Kutu Dari Bau KetekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang