Dalam perangkap kaus putih berlapis baju kodok berbahan jin, aku berdiri tegang di pinggir ruangan. Sendirian memilin-milin tali baju dengan gelisah.
Ruangan itu terang dan berisik. Ada banyak orang yang duduk di sana. Mereka bertukar kata, mengobrol tak putus-putus, saling bersenda gurau. Begitu tahu bahwa aku sedang berdiri jauh di pinggir ruangan, mereka langsung berlomba-lomba untuk mencuri perhatianku.
Di antara banyaknya orang, aku tidak bisa benar-benar melihat wajah satu pun dari mereka. Hanya dari kaki sampai bahu, paling jauh sampai hidung. Beberapa di antara mereka bahkan hanya terlihat posturnya, mirip siluet. Wajah mereka tidak terlihat jelas. Seperti terhalang cahaya entah dari mana.
Satu-satunya yang bisa kulihat jelas wajahnya hanya seorang wanita tua di atas kursi. Tempatnya agak berjarak dari sekumpulan orang itu. Tatapannya tajam dan tidak bersahabat sama sekali. Sudah kucoba untuk berani balas menatapnya, tetapi sorot mata itu tetap membuatku takut.
Setelah beberapa saat kami bertatapan, akhirnya wanita tua itu bangkit dari kursi, melenggang pindah tempat. Entah ke mana dia pergi, yang jelas ekspresinya masih tidak enak dipandang.
Aku masih sibuk menatap kesibukan orang satu per satu sampai tiba-tiba seseorang mendorong punggungku pelan dari belakang. Ada kalimat yang diucapkan samar-samar. Untuk persisnya aku tidak dengar, tetapi nadanya bilang kalau itu kalimat bujukan.
Orang-orang itu tersenyum lebar, memanggil-manggil namaku sambil mengayunkan tangan dan menyodorkan stoples biskuit serta permen.
Sayangnya, aku tidak ingin ke sana.
Jadi aku menggeleng-geleng, malah menguatkan pijakan kaki-kakiku yang pendek dan berisi sekuat tenaga sambil meremas tali baju kodok. Gestur itu ternyata mampu membuat beberapa orang di sana kecewa.
"Yah, ayo ke sini, dong." Seorang wanita berpotongan rambut pendek paling semangat menyita perhatianku. Wajahnya buram. "Jangan sama mamanya terus. Tante enggak bakal ambil mama kamu, kok."
Aku menggeleng. Kian mengerut mundur. Buru-buru tangan kiriku menggapai tangan besar lainnya di sebelahku. Entah tangan siapa.
Walaupun buram, bisa kurasakan tante itu cemberut melihat reaksiku. "Ih, kamu, mah, gitu," sungutnya, kemudian dia tersentak seperti baru menyadari sesuatu. "Eh, dia bisa bahasa Indonesia, 'kan?"
Seorang pria tergelak. Wajahnya juga buram. "Coba takut-takutin. Kalau nangis, berarti dia paham."
Tante berambut pendek itu tergelak, mengatakan kata-kata yang tidak kupahami, lalu kembali sibuk dengan urusannya. Dia tidak berusaha memancingku lagi. Akhirnya aku tidak lagi menjadi pusat perhatian.
Namun, masih ada satu orang yang bersikukuh mencuri perhatianku. Posturnya secara mengejutkan hampir sama seperti si tante tadi. Bedanya, rambut tante yang satu ini tampak sedikit lebih panjang, diikat dengan karet rambut berwarna merah, lalu disampirkan di atas satu bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #2: 17 Tahun [ON HOLD]
Novela JuvenilTerkadang Era bertanya-tanya apa arti dari patah hati. Kalau menurut KBBI, arti patah hati yang berkaitan dengan cinta ada di posisi ketiga. Posisi di atasnya justru diisi tentang kekecewaan, hilang keberanian, dan hilang kemauan. Seolah-olah mema...