01 | Matahari Bekasi Siang Hari Itu

188 57 58
                                    

Kalau bukan karena asas kekeluargaan, hari ini kami tidak akan berdiri di tepi lapangan sekolah orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau bukan karena asas kekeluargaan, hari ini kami tidak akan berdiri di tepi lapangan sekolah orang.

Iya, kami.

Karena di sebelahku ada Dine, Wahyu, dan Akbar. Kami berdiri berjajar bak tangga nada. Dari kiri ke kanan; dari aku ke Akbar, lalu Wahyu, dan akhirnya Dine. Setahuku Wahyu jadi tambah tinggi setelah liburan tahun ajaran baru, jadi aku tidak tahu persisnya siapa yang lebih tinggi di antara mereka berdua sekarang.

Yah, intinya, aku tidak sendirian.

Secara umum kemunculan kami berempat di tempat ini adalah sebagai suporter. Demi membakar semangat para anggota klub dance yang terlibat ke dalam perlombaan tingkat provinsi, kami rela berdiri di bawah teriknya matahari.

Di tempat lain (mungkin sebenarnya tidak jauh dari lokasi kami berdiri) ada beberapa anak kelas lain yang juga datang untuk menyambut kartu as mereka masing-masing.

Kartu as kami berempat jelas Raya dan Mona.

Oh, iya. Aku pernah bilang kalau Raya anak klub dance, tetapi belum soal Mona, ya?

Nah, jadi, secara mengejutkan Mona memilih klub ekstrakurikuler yang satu itu daripada yang lain. Entah motif sebenarnya apa, yang jelas dia mematahkan stereotip bahwa dancer harus berbadan kecil, atau tinggi, atau kurus.

Tariannya bagus, lho! Dia juga lincah! Energinya seolah tidak pernah habis dan kekuatannya di setiap gerakan mantap betul tanpa celah. Aku mendadak jadi penggemar nomor satunya.

... Atau mungkin nomor dua. Soalnya aku yakin posisi pertama diambil Akbar.

Yah, siapa, sih, yang enggak mau jadi penggemar nomor satunya gebetan—walaupun dianya enggak peka? Hati kecilku mengingatkan, meminta egoku untuk mengalah.

Singkat cerita, Minggu pagi ini, aku yang lupa tanggal berapa persisnya lomba dance itu diadakan tiba-tiba didatangi Dine dengan sepeda motornya. Momen itu terjadi tepat ketika aku sedang menggunting kuku kaki di teras depan rumah. Di belakangnya ada Wahyu yang memboncengi Akbar.

Beruntunglah aku karena sedang menggunting kuku kaki dalam keadaan sudah mandi.

Akhirnya—sebelum mama keluar dari dapur dan memaksa mereka untuk masuk bertamu—aku pamit dengan alasan yang sebenar-benarnya. Setelah itu aku naik ke atas jok belakang motor Dine, meluncur dengan jantung setengah aman selama diboncenginya.

Berhubung cuaca sedang terik-teriknya, kami berempat akhirnya membeli minuman dingin ketika sudah sampai di lokasi perlombaan. Setelah itu kami buru-buru melipir di tepi lapangan yang sejuk dan rimbun di bawah pohon sebelum tempatnya diambil orang.

Di situ kami masih mengoceh, membicarakan hal secara acak nan tidak bermanfaat, mengomentari tim dari sekolah lain, menggosipi guru-guru di sekolah, dan lain sebagainya.

Fotocintasis #2: 17 Tahun [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang