Kepala Wahyu menyelip masuk di antara celah pintu, melongok mencari-cari orang yang tak sepantasnya di kelas itu.
Tak butuh waktu lama, matanya berhasil menemukan kami—spesifiknya: aku dan Dine—sambil melotot, dan itu mengingatkanku kepada penari Bali yang joget-joget leher sambil melotot tanpa senyum.
"Buruan keluar, sini," titahnya. "Ada orang."
Setelah itu dia menyingkir jauh dari pintu.
Aku bergegas menepuk Dine, mengajaknya berdiri. Oh, jelas-jelas aku paham bahwa yang dimaksud Wahyu adalah para anggota klub dance yang sudah selesai tampil dan hendak menguasai kembali ruangan ini beserta AC-nya. Walaupun Wahyu hanya bilang, Ada orang.
Awalnya Dine enggan bangkit, posisinya langsung malas-malasan. Keluhannya meluncur hanya karena dia ingin menyejukkan diri di bawah AC lebih lama. Ujung-ujungnya dia menyalahkan matahari yang terlalu terik.
"Asli, Er. Misalnya kita setor kaki ke depan pintu aja, nih, pasti panasnya udah kerasa banget," gerutunya sambil melangkah gontai malas-malasan.
Sambil mengangkat bahu, aku mendorong punggung Dine agar dia lekas jalan. "Yah, gimana, ya. Kalau enggak panas, namanya bukan Bekasi."
Dibungkam fakta pahit, Dine menggerutu tidak jelas, dan akhirnya mengalah untuk keluar ruangan.
Untungnya kami menginjakkan kaki ke dunia luar tepat sebelum segerombolan anak klub dance menyerbu pintu. Berbagai macam obrolan mengudara selagi mereka melintas, ditambah dengan sorak-sorai seolah mereka saling menyemangati setelah tampil.
Namun, suara mereka perlahan memudar ketika sudah benar-benar masuk ke dalam ruangan. Entah apakah karena mereka lega diterpa angin AC, atau mungkin mendadak canggung ketika melihat Raya dan Mona.
Yah, itu masalah mereka. Biarlah mereka mengurus dramanya sendiri.
"Tuh, Er, coba lihat." Dine tiba-tiba mencolekku sampai menoleh. "Betulan Kelvin, 'kan? Aku enggak bohong, 'kan? Emang kamunya aja ...."
Bersamaan dengan kata-katanya yang pudar di akhir, aku mengangkat alis, menjulurkan leher, berusaha mencari sosok Kelvin di sekitar Wahyu dan Akbar yang berdiri berdekatan.
Setelah sekali lagi kupaksa mataku menyipit demi mengaktifkan daya akomodasi maksimal, barulah aku berhasil melihat wajah Kelvin di bawah bayang-bayang topi putihnya.
Di bawah matahari yang puas melihat kami kepanasan, aku dan Dine berjalan pelan berdampingan dalam perjalanan menuju Wahyu dan Akbar. Mereka berdiri diam menanti di bawah pohon rindang.
Tak jauh dari mereka, Kelvin berdiri di sana. Di sekitarnya ada Ipang dan beberapa anak cowok lain yang kukenali sebagai teman sefutsalnya—dan rupanya Viktor sungguhan ada di sana.
Atas nama refleks, keningku berkerut jengkel mengingat ekspresi jahatnya yang diarahkan padaku. Padahal aku tidak punya urusan apa-apa dengannya.
Namun, lain dariku, Dine justru melotot antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #2: 17 Tahun [ON HOLD]
Teen FictionTerkadang Era bertanya-tanya apa arti dari patah hati. Kalau menurut KBBI, arti patah hati yang berkaitan dengan cinta ada di posisi ketiga. Posisi di atasnya justru diisi tentang kekecewaan, hilang keberanian, dan hilang kemauan. Seolah-olah mema...