Hari Senin berganti menjadi Selasa. Kalau dihitung-hitung, tinggal enam hari lagi menuju festival.
Aku berkonsultasi dengan Mona tentang bagaimana cara membuat komik, bagaimana cara membuat jalan ceritanya, dan bagaimana lainnya. Beruntunglah aku karena Mona anak yang suportif.
Bisa jadi di dalam hatinya ada sekelebat rasa ingin menang, tetapi kalaupun rasa itu memang ada, berarti Mona menyembunyikannya dengan sangat baik.
Mona tidak bisa berhenti tersenyum saat kutunjukkan gambar hasil renungan sesi BK hari Jumat lalu. Dia bilang suasana gambarku mirip buku cerita anak-anak luar negeri—tidak terpaku pada ukuran objek yang sebenarnya, mengandalkan imajinasi, dan komentar lain yang membuatku tersenyum malu karena gambar-yang-bermasalah-di-mata-Miss-Jeje ternyata terlihat bagus di mata orang.
Selain itu Mona juga bilang, "Kalau kamu bikin dialog atau narasi yang filosofis pakai tipe gambar begini, hasilnya pasti bakal lebih dramatis."
"Bikin komik pakai gaya begini boleh? Bukan harus kayak yang di etalase bagian komik di toko buku?"
"Lho? Emangnya siapa yang larang? Mau bentuk karakter manusianya kayak balon juga enggak apa-apa, lho."
Mona tidak sepenuhnya salah, sih. Sayangnya, aku payah soal menggambar orang-orangan. Hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati lebih menarik untuk digambar. Sampai aku kepikiran, Apa kubuat fabel aja, ya?
Lalu saat kupikir-pikir lagi, apa kaitannya hewan-hewanan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda?
•∆•
Pada hari Rabu—lima hari menuju festival—aku kabur ke rumah tetangga pada sore harinya untuk meminta bahan renungan.
Tujuan utamaku adalah kamar Mbak Lila. Nahas, senyum manis Tante Indri menahanku untuk duduk dengan tenang dan nyaman di sofa ruang tengah. Katanya, aku harus mencicipi biskuit cokelatnya nanti—yang sekarang masih dalam proses pembuatan.
Setelah sekian lama menjadi tetangganya, bukan hal yang mudah untuk menolak perintah menyenangkan begini.
Lagipula biskuit buatan Tante Indri itu terlalu enak untuk dilewatkan.
Jadi aku duduk di sofa yang satu lagi untuk menanti biskuit, lumayan berjarak dari Kelvin yang sibuk dengan laptop dan tugas presentasinya.
Di bawah; di atas karpet; tepat di dekat kakinya, ada Kahla yang sedang duduk memeluk bantal sofa sambil memegangi remote televisi. Plester di lutut kanannya menarik perhatianku. Lalu entah insting dari mana, kusempatkan diri untuk menyapa, walaupun ujung-ujungnya hanya dibalas dengan: anggukan samar, mengalihkan wajah, dan gerakan memeluk bantal sofa lebih kuat lagi.
Aku tidak begitu paham apa arti serangkaian gerakannya; entah malu atau memang tidak suka melihat wajahku. Yang jelas aku agak sakit hati.
Yah, mau bagaimana lagi, 'kan? Kalau aku tidak berusaha maju duluan, perkembangan hubungan kami bakal mentok di situ-situ saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #2: 17 Tahun [ON HOLD]
Novela JuvenilTerkadang Era bertanya-tanya apa arti dari patah hati. Kalau menurut KBBI, arti patah hati yang berkaitan dengan cinta ada di posisi ketiga. Posisi di atasnya justru diisi tentang kekecewaan, hilang keberanian, dan hilang kemauan. Seolah-olah mema...