12 | Dari Kamera Tembus ke Hati

91 25 10
                                    

Aku mengawali hari ketiga FLN dengan menunggu Kelvin di luar rumah, bersandar malas-malasan pada pagar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengawali hari ketiga FLN dengan menunggu Kelvin di luar rumah, bersandar malas-malasan pada pagar. Agak melamun sementara tangan asyik memainkan tali pinggang seragam pramuka. Efek kehabisan baju kasual.

Biasanya aku tidak hobi menunggu seperti ini. Mama berulang kali mengomel karena aku sering menyelinap ke rumah seberang seolah-olah itu rumah sendiri. Padahal niatku hanya memastikan bahwa Kelvin juga berangkat, lalu menghabiskan waktu dengan berbincang dengan Tante Indri. Sesekali juga aku melihat Om Bima pamit pergi bekerja.

Namun, aku mulai menahan diri sejak Kelvin mulai berubah dan sejak aku tahu bahwa Tante Indri hamil lagi. Meskipun katanya dulu beliau menikah muda dan umurnya tidak jauh dari Mama, aku tetap khawatir karena Mbak Lila saja sudah bisa dipinang anak orang kapan saja. Jadi, untuk mengurangi rasa penat Tante Indri, aku mengurangi frekuensi kunjungan.

Yah, kalau Kelvin bolos hari ini, aku bisa berangkat sendiri. Aku juga paham. Mungkin dia agak sakit hati karena tim debatnya kalah dari tim kelasku kemarin. Karena meskipun performa Kelvin dan timnya bagus, performa tim Wahyu-Jenny-Hansamu sedikit lebih berkilau di atas panggung.

Siapa juga yang berselera menonton babak final lomba debat tim lawan? Lebih baik malas-malasan, datang terlambat, atau bahkan sama sekali tidak datang ke sekolah.

Harus kuakui, walaupun kelihatan keren, Kelvin ternyata memang kurang cocok berdebat.

"Lho, Ra? Kok, pakai seragam?"

Nah, ini dia. Panjang umur tetangga gantengku.

Sambil sibuk menyelot kembali pagar rumahnya, Kelvin memindaiku dari kepala sampai kaki. Lalu tiba-tiba dia menarik seringai tengil yang rasanya ingin kucubit sampai hilang.

"Kehabisan baju, ya?"

"Ngaca." Aku misuh-misuh dari seberang jalan, barangkali suaranya agak terlalu besar. Di saat yang sama kutunjuk setelan seragam pramukanya yang juga minus kacu, peluit, dan atribut lain. "Kamu juga pakai seragam."

"Eh, dari kemarin, kan, aku pakai seragam. Buat lomba."

"Cih."

Melihatnya cengar-cengir minta dipukul begitu, sepertinya semuanya tidak seburuk yang kukira. Air wajahnya juga tidak sekeruh yang kubayangkan. Mungkin dia memang tidak ambil hati soal yang kemarin.

"Udah lama nunggunya? Kenapa enggak mampir aja sekalian? Kamu aneh, deh, belakangan ini. Kayak lagi sama orang asing aja." Dituntunnya Jelly menyeberang jalan, berhenti di depanku, barulah dia duduk di sadel depan. "Sip. Yuk, berangkat."

Sambil membuang segala pikiran negatif, aku berdiri di pijakan kaki sepeda Kelvin. "Kenapa enggak bawa motor lagi?"

"Enggak."

"Ya, iya. Kenapa?"

"Hm ..., lagi mau bawa sepeda aja," katanya, menyerah dengan jawaban yang tidak-tidak. "Kenapa? Kamu lebih suka dibonceng pakai motor?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fotocintasis #2: 17 Tahun [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang