3. Drie

6K 514 20
                                    

Sedari dulu Alen memang hanya ingin menjadi yang terbaik untuk sang Papa. Apapun cara akan ia lakukan agar Abi mau menerima kehadirannya. Alen yang tak pernah diharapkan dari lahir, seharusnya tak perlu hidup dan menanggil Abi dengan sebutan Papa.

Alen hanyalah anak haram, hasil kesalahannya. Kehadiran Alen menghancurkan segala yang Abi punya, termasuk hidupnya, istrinya, dan calon putranya yang kini telah pergi mendahuluinya.

Disaat kisah hidup Abi belum berakhir dengan indah. Alen datang ditengah-tengah mereka, seakan menjadi malapetaka bagi kehancuran kelurga kecil milik Abi.

Sampai kapanpun Alen adalah putarnya, remaja itu adalah anaknya, darah dagingnya. Abi tak akan pernah bisa menepiskan fakta akan sebuah kenyataan yang berada didepan mata.

Alen memang tak seharusnya lahir, namun bayi kecil itu pada hakikatnya tak bersalah, atas dosa yang ia perbuat, dulu.

Kehadiran Alen sebagai seluk beluk kehancuran keluarganya membuat Abi menjadi gelap mata. Itu menjadi alasan Abi menganggap kehadiran Alen sebagai kutukan. Berusaha menutupi fakta, bahwa tak ada ikatan diantara mereka. Alen hanyalah hasil kesalahan, bukan hasi buah cintanya.

Sepanci air Alen didihkan. Sebungkus mie instan itu akan ia masak dan menjadi makan malamnya hari ini. Tatapan matanya terlihat kosong, pikirannya melayang, terlihat memikirkan sesuatu. Sebelum dibuyarkan oleh seorang asisten wanita yang menghampirinya.

"Den Ale, mau bibi bantu?"

Remaja itu seketika menyunggingkan senyum, "Ga usah Bi, nanggung."

Asisten rumah tangga ini membalasnya dengan geleng-geleng kepala, sebelum mengambil sesuatu dikotak obat dekat dapur.

Tangan yang sedikit keriput itu tiba tiba menyentuh sudut bibir Alen yang terdapat darah mengering disana.

Sang empu seketika meringis.

Lastri---nama asisten, mulai memasang tampang selidik, kearah putra majikannya yang sedari kecil ia asuh, "Berantem?"

Alen seketika gelagapan, "E-enggak kok, mana mungkin Ale berantem." Tepisnya.

Maaf Alen sedikit bohong, Bi, tapi Alen udah coba sabar sama perlakuan semena-mena mereka, batinnya merasa tak enak.

Lastri mengajaknya duduk di kursi makan, ingin mengobati lukanya.

Shhhh...."

"Kamu tuh sok pura-pura tegar."

Alen cengengesan, "Masa Ale harus nangis sih? Cuma karena luka ini doang, cemen dong."

Lastri menatap sinis, ingin sekali menoyor kepala Alen, yang selalu saja tersenyum tak peduli walau tengah dihadapkan masalah serumit apapun.

Mbok yo, kalau punya masalah itu gak usah dipendam sendiri. Ga baik!" Logat Jawanya masih terdengar kental sekali.

Alen tau apa yang sedang dibicarakan oleh sang asisten rumah tangganya saat ini. Namun dirinya hanya dapat membalas dengan cengiran kikuk, menggaruk tekuknya yang tiba tiba terasa gatal.

Alen lupa jika wanita inilah yang sudah merawatnya sejak bayi, jadi Lastri lebih dari sekedar cukup hapal tabiat dirinya. Ingin berbohong dihadapannya adalah pilihan yang salah.

"Tuan besar mukul sampeyan lagi kan? atau nampar?" tanya Lastri seraya mengoleskan obat merah pada kapas luka dan mengobati sudut bibir robek milik Alen.

Alen memelankan suara, "Udah biasa, Bi," balasnya, diringi dengan kekehan pelan.

Terkadang semua yang terjadi dihidup Alen ia tanggapi sebagi hal yang lucu, untuk menyembunyikan luka.

Alleen ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang