9. Negen

4.9K 444 5
                                        

Jari sang dokter dengan pelan memeriksa denyut nadi Alen yang saat ini tengah berbaring di ranjang ruang pemeriksaan. Setelah rangkaian check up, akhirnya sekarang selesai.

“Obatnya sekarang udah mulai rutin diminum kan, Al?”

Alen bangkit dari posisi berbaringnya, turun dari brankar sebelum mengikuti sang dokter dengan gender wanita, duduk di kursi yang biasanya digunakan untuk konsultasi.

“Kadang suka lupa, dok. Tapi untung aja Bi Lastri selalu ingetin.” Alen nyengir membuat sang dokter hanya menggelengkan kepala.

“Ya, jangan sampai kayak gitu lagi lah. Katanya mau sembuh.”

Alen tersenyum samar, bibirnya berucap pelan, sangat pelan hingga sang dokter sampai tak bisa mendengarnya. “Emang bisa sembuh ya?” ucapnya.

Sang dokter saat ini mulai menjelaskan menggunakan layar tab miliknya. “... Stadium 3, itu artinya ukuran kanker menjadi lebih besar, terkadang sudah mulai menyebar ke jaringan disekitarnya.  Pada tahap ini pasien memiliki kadar sel darah putih yang tinggi dan mengalami anemia. Mungkin juga mengalami pembesaran kelenjar getah bening atau pembesaran hati atau limpa."

“Pengobatannya, dok?” tanya Alen ingin langsung to the point.

Sang dokter menghela nafas. “Kita bisa mencoba dengan melakukan kemoterapi.”

Alen mangut mangut, sebelum bibirnya berucap ragu. “Tapi saya bener-benar bakalan bisa selamat kan, dok? Saya gak akan--"

“Saya bukan Tuhan.” Potong sang dokter cepat, tersenyum getir membuat Alen seketika mengangkat kepala yang barusan ia tundukkan. “Saya tidak akan pernah bisa menentukan nasib setiap pasien hanya karena diagnosa. Juga bukan Tuhan yang bisa mengubah takdir dengan profesi saya. Mengerti?"

Alen terdiam.

"Meskipun begitu, saya hanya ingin setiap pasien terus memiliki tekad, yakin, dan percaya," ujarnya dengan nada serius. “Begitu juga dengan kamu, bukan?"

Alen tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Iya, dirinya masih memiliki satu alasan hingga harus bertahan sampai detik ini maupun nanti.

"Alen bakalan berusaha," jawabnya kemudian.

Dokter itu tersenyum. “Saya suka semangat kamu.”

**********

Alen berjalan pelan menyusuri koridor rumah sakit, sesekali berhenti memejamkan mata, disaat sakit kepalanya begitu menyiksa.

Hap!

"Kalau jalan itu hati-hati."

Tubuh Alen yang tiba-tiba limbung kemudian dengan cepat ditangkap. Alen menonggakkan kepala menatap seseorang yang telah menangkap tubuhnya. Pandangan Alen yang memburam membuatnya harus memicingkan mata.

"O-om Gala?" Tebak Alen, setelah matanya sudah dapat mengenali orang yang berdiri tepat dihadapannya.

Gala memang merupakan seorang dokter dirumah sakit ini, yang kebetulan juga merupakan teman akrab sang Papa. 

Mata Gala menatap kearah putra teman lamanya dulu. Wajahnya menyiratkan sesuatu hal akan tak percaya, setelah keduanya sama-sama terduduk di kursi lobi rumah sakit.

Lelaki ini mengerutkan alis setelah membaca kata tiap kata dari surat berlogo rumah sakit di pojok kanannya.

“Kanker darah ... stadium tiga?” Gala mengernyitkan dahi. "Ga ... Ga mungkin pasti mereka salah. Om akan coba periksa kembali."

Mendengarnya remaja itu hanya tersenyum tipis. “Waktu Alen ga akan lama lagi ya, Om?" tanya Alen, saat Gala masih menatapnya, menelan salivanya susah.

Alleen (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang