11. Elf

5.1K 453 14
                                        

Klek!

Alen membuka pintu kamar Abi sangat perlahan, hingga suaranya sama sekali tak terdengar.

Lastri bilang jika Abi saat ini tengah sakit, setelah hujan-hujanan mengantarkan Rani kebandara siang kemarin.

Alen menyentuh jidat sang Papa, suhu panas begitu terasa. Membuat Alen memeras handuk kecil yang ia bawa, setelah diredam dengan sebaskom air hangat kuku.

Alen mengompres sang Papa yang saat ini masih terlelap tenang, berharap suhu tubuhnya menurun setelah nanti ia bangun.

Abi itu memang sudah dari sananya keras kepala, sulit diatur, selalu kukuh pada pendirian, tak peduli jika mungkin keputusannya itu didasarkan oleh sebuah ego. Namun sisi lain dibalik sifatnya, itu Alen tahu jika Abi menyimpan sedikit kata peduli, yang tak bisa ia perlihatkan secara terang terangan karena gengsi.

Jika ditanya bagaimana perasaan seorang Alen saat melihat jika kemarin Abi rela berdebat dengan Ibunya sendiri, karena Alen yang ia perkenalkan sebagai anak pembantu? Tak menyangka, dan Alen sedikit sulit percaya.

Karena dulu, bahkan Abi sama sekali tak peduli dan membiarkan begitu saja Rani yang hampir akan membunuhnya. Lalu tiba-tiba seakan ingin membela, Abi tak terima atas perlakuan Rani terhadap Alen sebagai putranya kemarin. Dan tanpa lelaki itu sendiri sadari, jika hal itu sudah menyiratkan akan sebuah kepedulian.

Alen pun kadang tak mengerti dengan sifat Papa. Alen tak tahu kapan ia akan diberi luka, dan kapan ia tiba-tiba merasakan sedikit kata bahagia.

Bahkan hanya dengan secuil kepedulian dari Abi, Alen sudah merasa sangat senang, lantas dengan itu apakah Alen sudah bisa merasakan definisi dari kata bahagia yang sesungguhnya?

"Cepat sembuh Papa, sakit itu rasanya ga enak."

Kedua sudut bibir Alen terangkat setelah berujar pelan, mengukir sebuah senyuman simpul, sorot matanya terlihat begitu tulus.

Andai saja Abi tahu bagaimana besarnya rasa sayang seorang Alen terhadapnya. Namun sampai sekarang nyatanya Abi buta, sampai hanya bisa melihat begitu menjijikkan Alen di matanya.

********

Abi mulai mengerjap perlahan.

Kicauan burung terdengar merdu, masuk keindra pendengaran, remang-remang cahaya mentari yang menyembul lewat ventilasi, menanadakan hari sudah pagi.

Mata Abi merasa silau, menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam retina matanya.

Hal pertama yang Abi dapatkan adalah handuk kecil yang masih terasa basah kini mengompres dahinya, diatas nakas terlihat sebaskom air kompresan yang mulai dingin. Dan Abi merasakan tubuhnya sudah enakan sekarang, demamnya sudah hilang.

Siapa yang melakukan semua ini? Akan mustahil jika asistennya rela berjaga semalam hanya untuk mengompres dirinya yang sedang demam.

Namun pikir Abi sama sekali tak terbesit akan fakta bahwa sebenarnya Alen lah yang melakukan semua ini untuknya, remaja yang rela tak tidur semalaman hanya untuk mengompresnya, bolak-balik kedapur untuk mengganti air hangat kuku itu saat sudah dingin. Dan ketika subuh seperti biasa Alen pergi ke musholla, hingga saat Abi terbangun ia tak melihat kehadirannya.

"Selamat pagi!" Sapa Alen dengan senyuman hangat miliknya mengampiri meja makan.

Beberapa asisten ikut membalas senyumannya saat tak sengaja berpapasan. Namun tidak dengan Abi, senyuman itu nampak selalu ia benci.

Abi memilih beranjak pergi, seakan tak sudi jika harus berlama-lama sarapan pagi dengan Alen.

***********

Alleen (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang