14. Veertien

5.3K 445 26
                                        

Ikbal berlarian di koridor rumah sakit, ikut mendorong brankar Alen untuk menuju ruang gawat darurat.

"SIALAN!!!”

Remaja itu berteriak frustasi, melihat brankarnya telah memasuki ruang yang dituju.

Setelah Abi memilih pergi keluar entah ke mana. Lastri menyadari sebuah kejanggalan dan memiliki firasat kuat jika ada hal buruk yang terjadi.

Kemudian dengan segera ia masuk ke dalam kamar Alen. Benar saja. Bercak darah terlihat berceceran di mana-mana. Suara shower air di kamar mandi yang masih terdengar, membuat ia yakin jika Tuan mudanya itu sedang berada di sana, mengingat kamar juga kosong tanpa ada pemiliknya.

Berulang kali Lastri mengetuk pintu dan berteriak ingin meyakinkan, namun tak ada sahutan dari dalam. Pintunya terkunci, membuat dirinya segera mencari kunci cadangan untuk dapat membukanya.

Hal yang mengejutkan benar-benar terjadi ketika pintu terbuka. Mata Lastri menangkap tubuh Alen yang terkulai lemah di lantai dengan wajah pucat pasi. Kulitnya terasa dingin. Darah dari luka yang masih basah terus saja merembes keluar. Keadaannya bahkan dapat dikatakan sangat parah.

Dengan gemetar Lastri segera meraih ponsel Alen yang kebetulan tergeletak diatas nakas. Menekan nomor temannya Alen, Ikbal. Karena ia membutuhkan bantuan, mengingat keadaan rumah yang sangat sepi, apalagi ketika ini sudah larut malam.

Tanpa menunggu waktu lama. Dengan tergesa-gesa, Ikbal langsung datang. Segera dirinya menelepon ambulans. Melihat keadaan Alen membutuhkan penanganan segera.

Jam kini sudah menunjukkan pukul satu malam, koridor rumah sakit terlihat sepi, ditambah dengan hawa dingin yang membuat suasana semakin mencekam.

"Sumpah, gue ga bakalan pernah rela, kalau sekarang lo mati, Al!" Ikbal memukul tembok rumah sakit beberapa kali.

Otak Ikbal mulai berpikir, sekejam apa sosok Papa Alen hingga dengan tega melakukan hal itu kepada putranya sendiri?

Ikbal tahu jika sang Ayah mendidiknya dengan tegas. Memukul atau menampar memang terkadang hal yang lumrah karena dirinya bertingkah kelewatan. Tapi, tak pernah sampai UGD yang menjadi alamatnya.

“Gimana keadaan Den Ale sekarang?” tanya Lastri dengan langkah terburu-buru, barusan ikut menyusul ke rumah sakit.

Ikbal yang menyandarkan diri di tembok rumah sakit hanya menggeleng. “Masih ditangani.”

Klek!

Tak berselang lama, pintu terbuka, membuat Ikbal dan Lastri dengan cepat menghampiri Gala yang kebetulan menangani Alen didalam sana.

"Kenapa bisa kayak gini?” Gala menatap satu per satu Ikbal dan Lastri secara bergantian.

Gala mengehela napas. “Alen kehilangan banyak darah, untung saja ruang sakit memiliki stok darah yang lumayan.” Ia lalu berganti menatap Lastri yang masih menampilkan wajah khawatir.

“Jika ini masih karena perbuat Abi, bukankah ini udah terlampau kelewatan?” tanya Gala, sampai tak habis pikir apa yang telah dilakukan oleh teman lamanya itu.

**********

"Kalau Alen disiksa separah ini, kenapa ga dilaporkan sama pihak berwajib, Bi?" tanya Ikbal.

Lastri yang kini bersama Ikbal duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Alen. Sejak tadi, wanita paruh baya itu hanya menundukkan kepala, seraya terus menitikkan air matanya.

"Selain bodoh, status saya dirumah itu tak lebih dari sekedar pelayan, Den. Tuan besar bahkan sudah berulang kali mengingatkan saya agar tak terlalu ikut campur dengan urusan mereka. Den Ale juga meminta agar saya tidak buka mulut, cukup rahasia, karena den Ale takut kalau Tuan terkena masalah nantinya."

Alleen (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang