12. Breakfast

179 45 14
                                    

Semalaman aku hanya melamun akibat Callister yang membuatku berpikiran negatif setiap saat.

Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar semalam. Bukankah ini terlalu cepat? Aku tidak bisa langsung mempercayai Callister apabila aku tak mengetahui apapun tentangnya. Perasaanku berubah-ubah semenjak mereka meninggalkanku tanpa clue apapun, lalu meninggalkanku di sini tanpa takut akan kabar kematianku. Rintik hujan yang mulai terdengar mengalihkan perhatianku.

Mengingat musim penghujan yang mulai datang, membuat segalanya terasa dingin juga mengakibatkan suatu perasaan yang tidak mengenakan muncul di benakku. Napas dingin yang keluar dari pernapasanku membuatku sadar bahwa hari ini akan jadi hari yang sangat dingin. Bahkan sweater di balik jubahku sama sekali tak membantu mengurangi hawa dingin yang aku rasakan.

Aku telah melewati waktu sarapan karena tidak ingin jadi pusat perhatian. Jadi aku akan memesan makanan dari luar, lewat telepon sekolah dikarenakan ponselku tidak berguna disini. Lokasi akademi merupakan salah penyebabnya, karena tempat ini berada di antara perbatasan dunia manusia dan dunia ini, aku tidak tau harus menyebutnya dunia apa. Jaringan disini juga sangat sulit ditangkap oleh masing-masing dimensi, terlebih dunia manusia.

Jadi mau tak mau aku harus mengeluarkan seluruh effort yang aku miliki hanya untuk naik turun tangga mencari telepon kuno di pojok aula.

Sembari menunggu pesananku sampai. Aku segera duduk di tangga di depan pintu akademi berdekatan dengan hujan yang sedang turun. Kali ini semuanya akan terasa lebih berat daripada yang seharusnya. Tidak ada akses komunikasi jarak jauh, kecuali komunikasi dengan Gal tentunya. Orang itu cukup unik jadi berkomunikasi dengannya terasa sangat mudah. Bagaimana kakek atau teman-temanku? Jangan ditanya. Aku ragu mereka akan membuka pesanku yang dikirim melalui online maupun offline.

Rasanya aku ingin menyerah. Memangnya adakah hal yang dapat aku lakukan saat ini? Melihat Kakek dengan tindakannya saat ini, aku dapat berharap apa? Seseorang yang menolongku? Sayangnya aku tidak hidup di dalam fantasi dipikiranku.

Aku bahkan meragukan kenyataan bahwa aku bisa bersekolah dengan normal.

Percaya ataupun tidak, aku masih belum berbincang dengan sepupuku karena mereka terlihat menghindar dariku. Aku putuskan untuk bertanya saat keadaan mereka mendesak, sehingga mereka tidak akan bisa lari dari pertanyaanku. Dapat aku perkirakaan hal apa yang akan mereka lakukan saat aku bertanya di waktu senggang. Seperti biasa, mereka hanya akan menatapku seolah-olah tidak mengenalku agar lolos dari pertanyaanku.

Sisi buruk lainnya adalah mengenai Ale dan Callister yang berteman dekat. Tidak bisa aku bayangkan pertemanan macam apa yang dapat terjalin dari orang-orang seperti mereka. Maksudku lihatlah Ale, satu-satunya orang paling sombong dan arogan yang pernah aku kenal. Bagaimana dengan Callister? Siapa yang berani mencuri kunci salah satu ruangan di asrama? Hanya orang tidak waras yang dapat melakukannya.

Meski aku juga tidak bisa dibilang waras karena dapat membuka kunci hanya dengan penjepit kertas. Aku tidak akan pernah berani mencuri kunci tersebut karena mereka hafal jumlah kunci dan dimana mereka meletakkannya terakhir kali. Kalau dalam kasus Callister. Bukankah berarti dia akan melakukan hal yang puluhan kali berbahaya kedepannya? Dia tidak merasa ketakutan sama sekali setelah melakukannya. Terlebih fakta bahwa dia akan melakukannya terang-terangan hanya akan membuat masalah semakin menumpuk.

Setelah beberapa lama menunggu. Penjaga sekolah berjalan dari gerbang sekolah ke araku membawakan pesananku. Lalu aku melakukan pembayaran jarak jauh kepada sang pengantar lewat penjaga sekolah. Setelah selesai aku segera membawa pesananku dan membuka pintu masuk ke akademi.

Anathema : The CursedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang