#3

21 4 9
                                    

"ini tidak mungkin," Mute berucap lirih.

Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya Mute segera mematikan komputernya. Mute berjalan lemah menuju ranjang, namun seakan kehilangan kekuatan Mute terjatuh sebelum sampai. Mute menunduk dalam menatap lantai, air matanya menitik seakan tak tertahankan. Mute terisak mengepalkan tangannya, menyandarkan tubuh di tepi ranjang Mute menyembunyikan wajah di antara kakinya.

"Kenapa? Apa ini kenyataan yang aku cari? Apa maksudnya semua ini? Apa?!!" Mute mulai berteriak membanting semua barang di dekatnya. "Kenapa?!" Mute membanting sebuah bingkai berisi fotonya bersama kedua orang tuanya. Mute menatap pantulan dirinya di kaca, "haruskah ku lanjutkan ini? Jawab aku!! Bayangan sialan!!" Mute memukul cermin menyebabkan tangannya terluka.

Mendengar kegaduhan dari kamar Mute, Rakun dan Catur yang mendengarnya langsung menghampiri kamar Mute. "Mute kau baik² saja!!" Teriak Rakun mengetuk pintu kamar Mute. Tak ada jawaban. Catur langsung menggedor pintu kamar Mute dengan tak sabaran. "Kita dobrak saja," ujar Rakun di balas anggukan kepala dari Catur.

Setelah berhasil mendobrak pintu mereka segera masuk dan melihat Mute terduduk di pojok kamar. "Kakak!!" Teriak Catur menghampiri Mute. Mute mendongak menatap Catur, namun Mute kembali menatap ke arah lain. "Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi!" Ujar Rakun tegas. Mute hanya terdiam.

Mute beranjak berdiri menuju balkon menatap langit malam yang penuh dengan bintang. Mute kembali menunduk, air matanya kembali mengalir, tangannya mengepal dan memukul pembatas balkon. Catur langsung berlari memeluk sang kakak, "kakak bisa cerita apa saja denganku." Rakun berjalan mendekati kedua adiknya, mengusap rambut Catur dan Mute. "Kenyataan ini? Ini ilusi atau nyata? Aku terjebak di dunia yang aku buat sendiri dan mungkinkah ini akhir dunia yang kubuat?" Mute menatap kosong sedangkan Rakun dan Catur mengernyit heran.

"Apa maksudmu?" Rakun bertanya tanya. Mute hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman kecil. "Apa kalian juga akan saling peduli jika tau kita bukan keluarga?" Kini Mute angkat bicara menatap Catur dan Rakun bergantian. "Apa maksud kakak?" Catur memegang tangan Mute erat.

Mute tertawa, menangis, dan marah secara bersamaan sedangkan Rakun dan Catur hanya saling pandang. "Ini!! Kenyataan ini!! Kenyataan bahwa kita bukanlah bagian keluarga Alvianda!!" Mute tertawa kemudian menangis. "Kalian tau? Orang yang mengaku sebagai ayah kita tak lebih dari seorang pembunuh!" Ucap Mute penuh emosi dan matanya mulai berkaca-kaca.

Mute melangkah mundur hingga akhirnya tubuhnya menabrak tembok dan meluruh. "Dia pembunuh," ucap Mute sendu. Catur yang masih mencoba mencerna ucapan Mute kini hanya membisu begitu pun Rakun. Kejadian ini begitu cepat.

"Semua ini ku lakukan demi mencari tau penyebab kematian mama namun fakta lain yang terungkap," ucap Mute dengan suara parau. "Aku dan kalian bukanlah bagian dari keluarga ini," kini suara Mute terdengar begitu sendu. "Orang tua kita di bunuh oleh orang yang mengaku sebagai papa kita dan lalu dia mengambil kita bertiga," ujar Mute yang mencoba tenang.

Rakun dan Catur nampak tertegun, Mute berdiri dari tempatnya menuju meja komputernya. Dihidupkan komputer itu, jari lentiknya kembali membuka semua dokumen. Mute memindahkan semua data ke sebuah flashdisk yang dia sediakan lalu beranjak mengemas pakaiannya dan memasukkan semua ke koper. "Maaf tapi aku akan pergi jika kalian masih ingin disini itu terserah kalian," ucap Mute menutup koper dan mencabut flashdisk nya.

Bagaimana dengan Rakun dan Catur? Mereka nampak kesulitan mencerna ucapan Mute. Mute yang tanpa basa-basi segera menuju bank untuk mengambil semua isi rekeningnya. Sebagai anak pengusaha, Mute selalu mendapat uang bulanan yang pada akhirnya hanya dia simpan. Setelah selesai, Mute menghadang taksi dan menuju sebuah gedung apartemen. Mute menyewa satu apartemen lengkap untuk dia tinggali.

Break The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang