[Dua Puluh Tiga] B

4K 820 51
                                    

"Aku kira bisa terus sama Hesa." Lana tersenyum samar, kemudian menggeleng. "Tapi ternyata nggak seperti yang aku bayangin."

Ares sedang menjadi penyimak yang baik. Dan Lana pelan-pelan membongkar yang menjadi kerisauannya

"Kami putus. Aku memilih begitu. Aku sendiri yang minta buat mengakhiri hubungan kami," ujar Lana.

"Alasannya apa sampai kalian harus putus?" tanya Ares, tapi segera menambahkan, "Kalau kamu mau cerita. Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, Na. Biar tentang itu kamu simpan sendiri."

"Nggak masalah, kok. Kamu tadi aja udah lihat aku nangis," kata Lana seraya menertawakan dirinya sendiri.

Sebelum menjelaskan pada Ares, dia menghirup udara dalam-dalam. Seolah dengan begitu bisa melegakan ruang sesak di benaknya.

"Bisa dibilang ini gara-gara masalah perbedaan pandangan." Lana mengedikkan pundak, dan melanjutkan, "Bukan dengan Hesa. Tapi dengan ibunya."

Kening Ares mengernyit. Menunggu penjelasan Lana berikutnya.

"Hesa itu duda. Dulu dia bercerai dengan Anya. Gara-gara Anya ketahuan selingkuh sama rekan kerjanya. Tapi bukan itu aja masalahnya. Anya lebih mementingkan kerjaan dia dibanding keluarga. Jadi perselingkuhan Anya itu adalah titik batas sabarnya Hesa. Sampai akhirnya Hesa memilih bercerai."

"Terus hubungannya sama kamu apa?"

"Ibunya Hesa jadi takut kalau kejadian yang sama akan terulang lagi. Karena aku wanita karir," ungkap Lana lalu mengusap keningnya. "Beliau maunya aku nggak kerja lagi setelah nanti jadi istri Hesa."

"Dan kamu nggak mau menuruti keinginan ibunya itu?"

Lana menggeleng. "Tentu aku nggak bisa asal nurut sama pemikiran yang bagi aku itu salah, Res. Ibunya nggak fair nyamain aku sama mantan menantunya. Terus jadiin pekerjaan aku itu kambing hitam. Aku nggak bisa mentah-mentah menerima persepsi yang aku rasa itu salah."

Lana berdecak, lalu menambahkan, "Siapa pun punya kesempatan untuk berselingkuh. Nggak hanya terbatas pada perempuan yang memiliki karir. Ibu rumah tangga juga bisa selingkuh kalau memang ada niat. Dan dengan aku tetap bekerja bukan berarti aku akan menelantarkan kewajiban sebagai istri."

Emosi di benak Lana mengumpul ketika harus menjabarkan masalah tersebut. Sebagian dirinya masih tidak rela kehilangan kebersamaan dengan Hesa hanya karena terganjal restu Sekar.

"Tapi sebenarnya aku nggak mau putus," ucap Lana lirih.

Ia menunduk, lalu mengangkat kepalanya lagi dan melihat ke arah Ares yang tak pernah melepaskan pandangan darinya. "Aku bodoh nggak, sih, Res? Aku yang minta putus. Tapi aku juga yang pengin banget tetap sama Hesa."

Tanpa menunggu tanggapan Ares, ia berkata lagi, "Aku merasa Hesa nggak memperjuangkan hubungan kami ini dengan maksimal. Sebenarnya aku juga maklum kalau Hesa lebih berat ke ibunya. Tapi aku juga ingin dipertahankan."

"Lalu sekarang kamu menyesali keputusan kamu?" tanya Ares.

Namun, Lana enggan untuk menjawab. Pertanyaan Ares itu sebenarnya sudah menjadi momok yang selalu bergaung dalam pikirannya.

Lana bangkit berdiri dan mengajak Ares untuk berpindah tempat ke dalam.

"Kayaknya lebih baik kita lanjut minum teh dulu."

•••

Setelah meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, Ares kembali menyimak penuturan Lana dengan penuh perhatian. Tidak mau melewatkan satu gerak bibir pun yang bisa ia baca.

"Pertama kali aku bertemu Hesa di kafenya Wanda. Dia datang sendirian. Tapi kami harus berbagi meja, karena semua meja udah keisi."

Lana merapikan helaian rambutnya ke belakang telinga, yang juga tak luput dari perhatian Ares. Tindakan kecil seperti itu saja bisa begitu menarik di matanya.

"Awalnya nggak ada yang bicara. Aku fokus dengan laptop, dan nggak begitu peduli sama dia yang duduk di depan aku. Tapi bisa-bisanya aku salah ambil minuman. Aku malah minum kopinya dia. Dan dari kekeliruan itu kami akhirnya mulai mengobrol."

Ares dapat melihat guratan ekspresi bahagia ketika Lana menceritakan pertemuannya dengan Hesa.

"Setelah itu komunikasi kami berlanjut. Kami mulai sering bikin janji untuk bertemu. Hesa bisa bikin aku tertarik setiap dia membahas sesuatu. Hesa selalu bisa menempatkan diri dengan baik dan bikin aku selalu nyaman sama dia. Semudah itu aku bisa suka sama dia."

Lana melanjutkan, "Enam bulan setelahnya kami berpacaran. Satu tahun kemudian, kami bertunangan. Tapi sekarang ...." Lana mendesah pelan. Salah satu tangannya menyangga kepala. "Satu tahun setelah bertunangan, kami malah berpisah."

Lana tiba-tiba terdiam, lalu menenggelamkan wajahnya di atas meja. Ares hanya memperhatikan Lana. Memberi ruang pada wanita itu tanpa perlu diinterupsi.

Namun, Ares menyadari kalau Lana pasti belum makan sejak tadi siang.

"Kita makan dulu aja, Na. Kamu pasti lapar sekarang," kata Ares sambil mengusap puncak kepala Lana. Gerakan itu murni hanya refleks yang ia lakukan tanpa sadar. Yang dulu selalu menjadi kebiasaannya.

Lana mendongak, seraya merapikan helaian rambut yang bersilangan di depan wajahnya.

"Aku nggak lapar," tanggap Lana.

"Nggak lapar bukan berarti kamu sampai telat makan."

"Itu juga yang sering Hesa bilang kalau aku lupa makan," cetus Lana.

"Makan kamu nggak teratur?"

Lana mengangguk. "Acak-acakan. Makanya Hesa paling bawel untuk urusan makan aku. Dia bisa datang ke sini hanya untuk memastikan aku benar-benar makan sampai habis. Dia nggak akan pulang kalau aku belum makan."

Helaan napas Lana yang berat menandakan kehilangan salah satu momen bersama Hesa.

"Tapi sekarang udah nggak ada dia lagi yang akan ingetin aku makan, Res," keluhnya.

Ares merasa tak pantas untuk mencemburui Hesa. Namun, dia iri dengan betapa berartinya seorang Hesa bagi Lana. Sehingga kehilangan lelaki itu bisa sangat berefek. Terbersit dalam benak Ares, apa Lana juga sampai seperti ini ketika dulu mereka berdua putus?

"Kalau gitu aku yang ingetin kamu untuk makan. Dan aku pastiin kamu akan makan sekarang," ujar Ares lalu melirik ke arah kulkas di belakang Lana. "Kayaknya aku bisa masakin kamu sesuatu."

Ares kemudian beranjak menuju kulkas. Mungkin ada yang bisa dia gunakan di dalam sana. Ada foto Lana dan Hesa yang ditempel dengan hiasan magnet di pintu kulkas. Senyum dua orang yang saling mencinta, berlatar area rekreasi. Ares cukup melihatnya sambil lalu. Namun, dia dibuat tertegun begitu melihat isi kulkas Lana yang kosong. Hanya ada dua kotak kemasan susu ukuran satu liter yang belum dibuka.

Ares menoleh ke arah Lana, sambil menunjukkan ruang kosong di dalam kulkas. "Kapan terakhir kali kamu belanja?"

Lana meringis. "Lupa. Biasanya Hesa yang rajin isi kulkas aku."

Mendadak muncul keinginan Ares untuk perlu mengambil alih peran Hesa. Menjadi orang yang bisa mengingatkan Lana agar jangan sampai terlewat makannya. Dia hanya ingin sedikit membantu membenahi hidup Lana yang sedang kehilangan pegangan. Tidak bermaksud lebih dari itu.

"Kita cari makan di luar aja, ya," ajak Ares sambil melirik pada jam tangannya. Masih pukul setengah sepuluh malam. Belum terlalu larut untuk keluar.

•••☆•••

Ares hanya berniat baik aja kok, kasih perhatian ke Lana yang lagi patah hati 😉

Tapi apa nggak takut jadi .....

Jadi apa? ❤

Jangan lupa di-VOTE dan kasih komentar kalian ya ❤ Biar bisa update lagi ❤❤

Terima kasih banyak sudah baca cerita ini
❤❤

SHADES OF COOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang