[Dua Puluh Lima] A

4.1K 797 99
                                    

Bolpoin yang diketuk-ketukan Faraz ke atas meja menarik perhatian Lana yang sebelumnya tampak tak fokus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bolpoin yang diketuk-ketukan Faraz ke atas meja menarik perhatian Lana yang sebelumnya tampak tak fokus. Lana mendongak, dan menemukan Faraz sudah berdiri di depan mejanya. Lelaki beralis tebal itu menggeleng sambil berdecak heran.

"Udah melamunnya?"

Sejak kapan ia melamun? Lana bahkan tidak menyadarinya. Tadi sehabis menyeduh kopi di pantri, dia kembali duduk dan bersiap membuka laptop. Kemudian tak sengaja melirik sebentar ke arah mejanya yang terlapisi kaca. Di balik kaca terselip foto dirinya bersama Hesa. Lana tak berniat berlama-lama memperhatikan foto itu. Bahkan Lana ingin segera menyingkirkan benda itu dari jangkauan pandangnya.

Namun, momen di foto itu malah bergulir dalam ingatannya. Berlatar taman hiburan, senyumnya begitu semringah di samping Hesa. Dirinya tidak pernah merasa tidak bahagia ketika bersama Hesa. Jebakan kenangan itu membuatnya larut dalam lamunan. Sampai Faraz menarik fokusnya kembali.

"Na, udah ada bayangan mau seperti apa story line-nya coklat Deng Deng?"

Lana terkesiap. Teringat brief untuk iklan coklat Deng Deng yang sudah diberikan Erwin sejak tiga hari lalu. Lana sama sekali belum membacanya.

"Lo belum baca, kan?" tebak Faraz yang terdengar yakin.

"Belum. Sorry." Lana segera menarik laci meja. Di dalam sana tergeletak lembaran brief klien LoBo yang belum ia pelajari.

Jawaban Lana membuat Faraz menggaruk kepalanya yang tak gatal. Faraz mengembuskan napas cepat, lalu berdecak. Pertanda tidak menyukai kealpaan Lana.

"Na, lo bisa lebih profesional nggak, sih?" Nada kesal pada suara Faraz menghentikan gerak tangan Lana yang tadinya hendak mengambil brief. "Gue tahu lo lagi patah hati. Tapi apa nggak bisa singkirin dulu menye-menye lo, selama lo masih gantungin hidup dari pekerjaan ini?"

Kalimat Faraz membuat Lana merasa tertohok.

"Kita ini kerja nggak hanya ngandelin otak gue aja. Tapi otak lo juga perlu dipakai. Kalau cuma gue yang mikir, terus fungsi lo apa? Apa itu yang namanya tanggung jawab sama pekerjaan?"

Meski menusuk, tapi kata-kata Faraz memang benar. Lana mengakui ketidakprofesionalannya gara-gara terlalu terbawa perasaan. Tidak becus mengatur apa saja yang seharusnya dikedepankan selama bekerja. Dia menyadari kesalahannya yang terlalu tenggelam pada urusan asmara.

"Lo dan gue itu satu tim, nggak mungkin gue bergerak sama ide gue sendirian. Lo seharusnya bisa misahin antara urusan pribadi lo sama kerjaan. Nggak terus-terusan hanya mikirin diri lo sendiri."

"Kasih gue waktu. Gue akan coba baca dulu, Raz," kata Lana tanpa melihat Faraz. Ia meletakkan lembaran brief itu di atas meja.

Faraz berdecak. Sesaat lelaki itu memperhatikan Lana, kemudian berlalu dari hadapannya.

SHADES OF COOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang