[5.b] Ketika Hanya Ada Kata "Kita"

1.3K 136 8
                                    

"Lana!"

Langkah Lana otomatis terhenti, saat melihat seorang cowok berjalan menghampirinya dari ujung koridor sekolah. Bastian melangkah mantap. Matanya menatap lurus-lurus ke arah Lana, yang pasti akan membahas tentang situasi mereka semalam.

Kemarin Lana memilih mengejar Ares. Kurang peduli pada kehadiran Bastian, yang seharusnya menerima jawaban ya atau tidak perihal rasa suka cowok itu. Bukannya alih-alih menyuruhnya pulang dan menggantung kembali perasaan Bastian. Cowok itu sudah cukup bersabar menanti perasaannya berbalas dengan kejelasan.

"Soal kemarin itu gue—"

"Gue nggak tahu apa kurangnya gue," cetus Bastian cepat.

Alis Lana terangkat naik.

"Tadinya gue kira lo juga punya rasa yang sama. Tapi kayaknya mungkin lo memang sengaja mengulur-ulur waktu itu, ya, karena lo nggak suka sama gue. Benar, kan?"

"Sebenarnya nggak gitu juga. Tapi ...." Lana ingin bilang kalau sekarang dia sudah berpacaran dengan Ares. Namun, sulit bagi cewek itu menjelaskan kalau mereka resmi berpacaran semalam. Malam di mana yang seharusnya menjadi milik Bastian.

"Tapi kenapa?" kejar Bastian. Tatapannya lekat-lekat mengarah pada Lana.

"Tapi guenya yang memang nggak bisa menerima lo, karena gue kayaknya memang nggak punya perasaan yang sama seperti lo ke gue."

Bastian terdiam. Dia mengembuskan napas pendek, sambil berkacak pinggang dengan sebelah tangan. Sedangkan tangannya yang lain menarik-narik tepi leher—seperti sedang kegerahan—jersey basket yang melekat di tubuh atletisnya.

"Jadi ternyata memang lo nggak suka sama gue," ujar Bastian yang akhirnya bersuara. Jelas ada secuil kecewa yang tergambar di wajah tampan cowok itu.

"Gue suka sama lo, Bas," kata Lana yang merasa tidak enak pada Bastian. Namun, dia buru-buru melanjutkan, "Tapi bukan buat jadi pacar."

Jujur, Sebastian Monoarfa adalah tipe cowok yang pasti akan sulit untuk ditolak. Idola SMA 300 dengan banyak prestasi yang sudah ditorehkan untuk sekolah ini. Wajah tampannya pun tidak perlu diragukan lagi, telah berhasil menghipnotis dan membuat sebagian besar cewek berkhayal andai bisa menjadi pacar Bastian. Terkecuali Lana, yang sejak awal entah kenapa melihat Bastian dalam sudut pandang hanya sebagai teman yang baik dan begitu perhatian. Meskipun potensi keduanya untuk menjadi pacar cukup besar.

"Kalau lo suka sama gue, kenapa kita nggak bisa pacaran?" Bastian melontarkan pertanyaan itu, tanpa peduli dengan kemungkinan orang yang melintas akan berhasil mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Suka bukan berarti harus pacaran, kan, Bas? Gue pikir kita memang sebaiknya lebih cocok jadi teman aja."

"Apa salahnya lo terima gue dulu. Jalanin hubungan kita dulu sebagai pacar. Bisa, kan?"

"Ya tapi gue beneran nggak—"

"Kenapa? Ada cowok yang lo suka? Selama ini lo nggak pernah cerita kalau ada orang yang sedang lo taksir," sela Bastian cepat. Dia tampak kurang puas kalau belum mendapat penjelasan yang lugas dari Lana.

Apa dia harus bilang aja kalau sudah berpacaran dengan Ares?

Tapi ....

"Bas! Cepetan ke lapangan!" Sebuah seruan menginterupsi pembicaraan mereka berdua. Diam-diam Lana menarik napas lega.

Bastian melempar pandang ke teman satu tim basketnya yang tadi memanggil.
Mengangguk sekilas, lalu kembali memakukan perhatiannya pada Lana.

"Pulang sekolah nanti, lo bareng gue, ya."

SHADES OF COOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang