[Dua Puluh Empat] C

4.5K 824 58
                                    

Hesa terlebih dulu memastikan Jani sudah berlalu dari ruangan ini, sebelum dia mulai bertanya pada Sekar. Dia butuh penjelasan perihal yang dikatakan Jani semalam. Hesa memulai pembicaraan, setelah ibunya memberi kesempatan berbicara. Walaupun arah pandang Sekar tetap belum berpaling dari lukisan yang baru dipajang.

"Apa benar Ibu mau jodohin aku sama Jani?" tanya Hesa tanpa berbasa-basi.

Sekar tak serta merta memberi jawaban atas pertanyaannya. Sekar masih memperhatikan lukisan seorang perempuan berkebaya lusuh di hadapannya dengan khidmat. Perempuan di dalam lukisan itu memegang semacam gentong di atas kepalanya. Sedangkan tangannya yang satu lagi menggendong bayi. Gurat-gurat kelelahan tergambar di wajahnya yang menyiratkan derita. Akan tetapi, perempuan itu tetap menyunggingkan senyum. Yang menjadi kontra dengan kondisi si perempuan.

Lukisan itu sudah bertahun-tahun lamanya menghiasi dinding kamar orang tua Hesa. Dibeli dari salah seorang seniman yang sekarang bermukim di Belanda. Sekarang lukisan itu sengaja dipindahkan Sekar ke ruang keluarga. Berkesempatan untuk menjadi pusat perhatian bila diukur dari besarnya lukisan.

"Kalau iya memangnya kenapa?" Sekar baru bersuara. Wanita itu lalu berbalik badan sambil mengusap punggung tangannya yang terangkum. "Nggak ada yang salah dengan Jani. Dia pantas untuk kamu."

"Aku sudah anggap Jani itu seperti adikku sendiri, Bu. Aku sama dia, nggak punya perasaan apa-apa," tolak Hesa.

"Menikah itu bukan hanya masalah perasaan. Cinta saja nggak cukup buat orang membangun rumah tangga. Jani adalah perempuan yang cocok buat kamu jadikan istri. Masalah cinta itu bisa belakangan."

Hesa menggeleng. Namun, Sekar tak mau kalah.

"Ibu sudah sering bilang sama kamu. Belajar dari pernikahan kamu sama Anya. Menjadi seorang istri itu nggak harus terlalu pintar, atau cantik. Tapi harus paham cara merawat suami dan keluarganya dengan baik. Anya dulu nggak bisa melakukannya untuk kamu. Dan sekarang Ibu bisa lega kamu akhirnya pisah sama Lana."

Ujung-ujungnya, Sekar pasti akan menyangkut-pautkan dengan Lana.

"Sudah, Bu. Kita nggak usah pakai bahas Lana lagi," elak Hesa. Dia tidak mau menjerumuskan nama Lana dalam pembicaraan.

"Tapi kamu memang harus terus diingatkan, Hes. Lana sama saja dengan Anya. Sama-sama lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan kamu. Apa kamu nggak berpikir kalau kamu sampai menikah dengan dia, bagaimana nasib Naya? Apa ada jaminan akan diurus dengan baik?" tekan Sekar yang mengingatkan putranya kalau pembahasan ini sudah sering mereka perdebatkan.

"Lana punya prinsipnya sendiri, Bu. Aku harus hargai apa yang dia yakini benar."

"Prinsip yang dia punya kalau sampai mengorbankan kamu, itu berarti kamu nggak berarti apa-apa buat dia."

Hesa mendesah pelan. Ibunya terlalu sulit untuk dibantah.

"Jani seratus kali lebih baik dari Anya dan juga Lana."

"Bu," Hesa menahan diri di hadapan Sekar, "aku putus sama Lana bukan berarti aku akan menerima Jani jadi istri."

"Jani adalah pilihan yang tepat buat kamu dan Naya. Jani bisa melayani kamu. Naya juga butuh ibu yang bisa mendidik dia dengan baik. Bukan perempuan yang lebih banyak waktunya di luar daripada di rumah," tegas Sekar lalu berbalik memunggungi Hesa.

SHADES OF COOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang