*15. Luka Batin Anna*

4.5K 713 52
                                    

"Cantik? Udah pasti! Body-nya setara sama model Victoria Secret. Nggak punya masa lalu kelam. Orang tuanya baik-baik aja. Dijamin anaknya 100% nggak punya penyakit mental, dan satu lagi kalau diajak ngobrol langsung nyambung," jelas Jeffri yang baru saja mengenalkan teman perempuannya pada Al.

"Kekurangannya?" tanya Al dengan ragu. Bukannya senang mendapatkan perempuan yang dari luarnya terlihat sesempurna itu, tetapi Al justru takut.

"Nggak ada. She is perfect!" seru Jeffri, masih dengan semangat yang membara untuk menjodohkan Al dengan perempuan pilihannya.

"Gak mungkin," ucap Al. "Pasti dia punya kekurangan. Satu aja. Sebutin kekurangannya, biar gue nantinya nggak kaget."

Tahu mengapa dari banyaknya perempuan yang Al kenal, hanya Anna yang akan selalu ia datangi? Karena Al sudah tahu buruk dan baiknya Anna dalam porsi yang sama.

Tahu mengapa Al bisa cepat melupakan Rara? Cinta pertamanya itu? Katanya, cinta pertama tidak akan berhasil. Mungkin itu benar terjadi pada hidup Al.

Dan lagipula, akhirnya Al sadar ia tidak bisa menerima kekurangan-kekurangan yang ada pada diri Rara. Bukan karena Al jahat. Ia sudah memaafkan semua kesalahan yang Rara perbuat. Namun, untuk menerimanya kembali sebagai perempuan yang bisa ia cintai setulus dulu, sepertinya itu tidak pantas Rara dapatkan. Makanya, Al memulai hidup baru.

Al sangat yakin, jikalau bukan Rara yang akan menjadi jodohnya suatu saat nanti. Karena apa? Saat Al tahu satu, dua, hingga banyaknya kekurangan Rara- ia sama sekali tidak bisa terima. Al marah. Al kecewa. Al sama sekali tidak bisa memaklumi kekurangan maupun kesalahan Rara. Dan itu bukan bagian dari definisi mencintai. Melepaskan menjadi satu-satunya cara untuk berdamai dengan keadaan.

"Apa, ya...." Jeffri berpikir cukup lama. "Kagak ada, Al."

"Berarti, dia nggak cocok sama gue."

"Ah elah. Lo aja belum ketemu sama dia. Lo belum ngelihat mukanya yang secantik Mbak Mawar Blekping. Belum lagi dia tuh punya butik sendiri. Bayangin aja! Usianya masih muda, tapi udah bisa berbisnis. Keren banget! Andaikan dia mau sama gue, udah gue gebet duluan dah," ujar Jeffri, semakin berusaha keras meyakinkan Al. "Lo coba dulu deh kencan sama dia. Siapa tahu cocok."

"Ya, udah...."

"Ya, udah apaan nih?" Jeffri meminta gelasnya kembali diisi oleh minuman yang baru karena sudah kosong.

"Ya, udah. Gue setuju," Al menghela napas sebentar sembari berdoa di dalam hati semoga keputusan yang sudah dibuatnya itu tidak salah. "Semoga aja Anna langsung cemburu pas gue punya pacar."

Itu satu-satunya harapan Al.

"Nah, gitu dong! Gue dapet pajak jadian 'kan ya? Kan, gue udah ngebantuin elo nih."

Al mengabaikan Jeffri karena ponselnya berbunyi. Ada satu panggilan tak terjawab dari Anna. Jantung Al langsung berdetak cepat. Pasti ada sesuatu yang salah terjadi. Anna jarang sekali meneleponnya. Anna hanya akan menelepon Al di saat-saat paling buruk dalam hidupnya.

Dengan cepat, Al mengklik tombol untuk menelepon balik Anna. Namun, tidak dijawab. Diabaikan. Al khawatir. Ia langsung bangkit berdiri.

"Eh, mau ke mana?" Jeffri menahan Al.

"Gue harus cabut," jawab Al sembari mengirimi chat Anna, berharap segera mendapatkan balasan agar ia bisa tenang.

"Si Yoga sama Devan 'kan belum dateng. Ini juga belum dimulai rap-"

"Gue nggak bisa," potong Al dengan cepat lalu langsung meninggalkan Jeffri yang sedang mengumpatinya. "Sorry, ya, Jeff. Anna sekarang lebih penting buat gue."

Tujuan Al saat ini adalah rumah Anna. Pikiran buruk Al tertuju pada mamanya Anna. Mungkin saja Anna dipukuli lagi dan kali ini lebih parah? Atau bahkan mungkin Anna sampai sekarat lalu mencoba meminta bantuan Al, tetapi terlambat.

"Balas chat gue, Ann. Jangan bikin gue panik dong!" Al menyetir sambil terus menggerutu dan sesekali melirik ke arah ponselnya.

Tepat di lampu merah, akhirnya Al mendapatkan balasan pesan dari Anna.

119
Al, gue diajak ketemuan sama Papa
Sekarang gue ada di Sushi Tei
Doain yaa

"Anna! Kenapa lo nekat banget, sih!" kesal Al saat membaca chat dari Anna.

Antara lega dan semakin panik.

Pertama, Al lega karena Anna tidak kenapa-kenapa. Al lega karena pikiran negatifnya tentang mamanya Anna itu salah. Itu artinya fisik Anna tidak tersakiti. Namun, Al semakin panik karena seseorang yang Anna sebut "Papa" itu adalah sosok yang terlampau sering memberi luka. Lukanya berupa luka batin. Tidak terlihat. Nyatanya, luka itu selalu Anna rasakan dan susah untuk disembuhkan.

Berulang kali Al mengatai Anna bodoh selama dalam perjalanan menyusul perempuan itu ke salah satu mall yang sering mereka kunjungi bersama.

Saat Al berhasil tiba di tempat yang Anna maksud, dua bola mata laki-laki itu langsung menyusuri ke sekelilingnya.

Tidak butuh waktu lama untuk Al akhirnya bisa menemukan Anna yang duduk sendirian di sana dengan tatapan matanya yang kosong.

Dengan langkah kaki yang lebar, Al menuju ke sana dan langsung duduk di samping Anna. Sengaja Al tidak memilih duduk berhadapan dengan Anna karena ia tidak sanggup.

Hening.

Anna tahu Al ada di sampingnya, tapi ia tetap bungkam. Al bertanya-tanya, di mana papanya Anna? Dan makanan yang ada di meja milik Anna itu sama sekali belum tersentuh, sedangkan makanan yang sepertinya bekas seseorang yang tadi duduk berhadapan dengan Anna itu terlihat sudah dicicipi.

"Nangis aja," ucap Al yang entah mengapa langsung meruntuhkan pertahanan diri Anna.

Perempuan itu menolehkan kepalanya pada Al sebentar lalu langsung menutupi wajahnya dan menangis.

Al tidak peduli saat orang-orang di sekitarnya menatap dengan tatapan tidak suka. "Nggak papa. Nangis sepuas yang lo mau," ucap Al. Hanya itu yang bisa ia katakan.

Bagi Al, sulit untuk menyusun kalimat penuh motivasi. Yang bisa ia katakan hanya kalimat sederhana.

"Gue selalu hidup dengan harapan tinggi kalau suatu saat nanti Papa akan jemput gue lagi. Papa akan rujuk sama Mama. Papa akan kembali ke rumah...." dan Anna menujukkan sebuah undangan yang sudah ia remas. "Harapan yang gue punya terlalu tinggi, Al. Dan gue tersakiti oleh ekspetasi yang gue buat sendiri."

"Lo nggak salah. Harapan dan ekspetasi lo nggak pernah salah," Al mengambil alih undangan yang ada di tangan Anna lalu menggantinya dengan tangannya. Al memberikan tangannya untuk Anna remas- melampiaskan amarahnya.

"Papa dulu bilang, 'Anna dengerin Papa, ya. Kamu tunggu Papa. Kamu harus jadi anak baik. Oke? Jagain Mama. Papa pasti pulang.' Gue selalu percaya dengan kalimat bodoh itu sampai detik ini," tangisan Anna semakin memilukan. "Gue selalu berharap akan ada pelangi setelah hujan reda. Gue selalu berharap semua akan indah pada waktunya karena orang-orang selalu mengatakan itu ke gue."

"Nyatanya, hidup lo makin hancur," ujar Al tanpa bisa ia tahan lagi.

"Lo bener. Gue semakin hancur," lalu tatapan mata Anna terarah pada Sushi yang ada di hadapannya. "Bisa-bisanya Papa tadi makan tanpa ngerasa sedih. Bisa-bisanya Papa nggak meluk gue seditik pun, padahal kita udah lama nggak ketemu."

Beberapa orang emang ditakdirin buat ngasih luka dan beberapa lagi ditakdirkan buat menyembuhkan luka itu.

AlannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang