"Hei, Pria Malas. Bangun!" teriak Nara membanguni Janu yang masih terlelap di alam bawah sadarnya.
Sementara matahari perlahan-lahan menduduki singgasananya. Janu yang mendengar suara berisik Nara buru-buru terbangun. Dia sesekali menguap, tandanya Janu masih merasakan kantuk. Tanpa memperhatikan Nara di sekitarnya, Janu mengemas tenda dan barang-barangnya yang lain.
"Cepat selesaikan pekerjaan tidak berguna itu, aku akan membawamu ke suatu tempat," seru Nara yang tidak sabar menunggu Janu.
"Diamlah, Gadis Berisik! Tidak bisakah kamu bersabar sebentar saja?" Janu merasa jengkel mendengar suara Nara yang berisik berdengung di telinganya.
Nara yang mendengar ucapan Janu tersebut memasang wajah masam, tangannya tersilang di atas dada. "Baiklah, jika kamu ingin aku diam. Aku akan diam sepanjang hari dan tidak akan menjawab satu pertanyaan yang terlontar dari mulut kasarmu itu."
Tingkah mereka yang demikian malah terlihat akrab. Padahal mereka baru bertemu kemarin malam, tetapi adu mulut mereka itu seperti sudah kenal dengan waktu yang sangat lama.
Selang beberapa menit, Janu selesai membereskan barang-barangnya. Kemudian dia mengajak Nara untuk segera berangkat, walaupun dirinya tidak tahu ke mana Nara akan membawanya. Kemungkinan, tempat yang akan mereka tuju dapat memberikan jawaban atas rasa penasaran yang selama ini disimpan Janu. Janu berharap hal demikian.
Nara memimpin jalan di depan Janu, dengan keadaan matanya yang buta, Nara berjalan seakan hapal dengan rute yang mereka tuju. Sepanjang jalan, Janu tidak berani berbicara, karena sebelumnya dia sudah membuat Nara kesal. Padahal ada yang ingin ditanyakannya kepada Nara. Janu mengumpulkan niat untuk memulai topik pembicaraan, semoga saja gadis aneh di depannya itu bisa diajak bekerja sama.
"Nara—" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Nara langsung menepis perkataan Janu.
"Jangan sebut namaku. Bukannya tadi kamu menyuruh gadis ini diam, dan sekarang kamu ingin berbicara kepadaku. Kamu tidak memiliki kualifikasi untuk itu," celetuk Nara dengan garang.
Memang sulit menjinakkan wanita, daripada menjinakkan binatang.
"Hei, dengarlah. Tadi itu hanya kesalahpahaman saja, aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Jika kamu tersinggung, aku minta maaf akan hal tersebut." Janu menampilkan wajah yang memohon belas kasih.
Nara tidak menggubris ungkapan maaf dari Janu. Dia fokus berjalan ke depan. Sepanjang jalan mereka melewati hutan dengan pohon-pohon yang rimbun, tidak ada suara sama sekali yang keluar dari bibir mereka berdua; lengang. Beberapa saat kemudian, Nara berhenti di tengah tanah luas yang dikelilingi pohon.
Di tengah tanah luas itu berdiri kokoh sepasang batu. Tingginya sekitar 2 meter, Nara berjalan ke arah batu itu. Janu hanya bisa mengekori Nara dari belakang, dia masih kebingungan dan mencoba untuk beradaptasi dengan tempat yang dilihatnya itu.
"Ini adalah pintu masuk ke suku kami, Suku Leviathan," kata Nara dengan suara yang datar.
"Terus, bagaimana kita masuk ke sana? Aku tidak melihat sesuatu yang kamu anggap kediaman sukumu di seberang batu itu." Janu benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Jika itu sebuah pintu, bagaimana cara membukanya.
"Dasar, Pria Bodoh. Aku belum selesai menjelaskan tentang tempat ini kepadamu. Sekarang dengarkan saja apa yang kukatakan," umpat Nara kesal dengan Janu. "Jika kita ingin melewati pintu ini, kita memerlukan sebuah kunci dan pengorbanan. Langkah pertama, sayat jarimu."
"Apa kamu gila? Tidak, aku tidak mau melukai diriku sendiri." Janu menolak untuk menyayat jarinya.
"Mengapa kamu harus takut? Bukankah kamu memiliki kekuatan penyembuh yang diberikan Wingit kepadamu? Sudah cepat lakukan yang aku suruh. Setelah meneteskan darah dari luka sayatan itu, tancapkan bionet di tengah-tengah batu itu."
Janu pun hanya bisa menuruti kata-kata Nara. Dia mendekati batu-batu besar itu, lalu menggores luka di jarinya sendiri dengan bionet yang ada di tangannya. Setetes darah segar menetes ke tanah, kemudian Janu menancapkan bionet di antara batu-batu itu sesuai intrupsi Nara.
Tiba-tiba tanah bergetar di sekitar batu tersebut, sebuah cahaya muncul di antara batu itu. Nara mengatakan kalau cahaya itu adalah portal untuk masuk ke tempat Suku Leviathan. Nara menyuruh Janu untuk segera masuk ke dalam portal.
Mereka berdua pun masuk ke dalam portal yang bercahaya terang itu.
Hitungan detik mereka berdua sudah berada di tempat yang berbeda. Janu melihat ke sekelilingnya, dia merasa berada di negeri di atas awan. Dari tempat Janu berdiri, dia dapat melihat lautan awan yang begitu indah. Setelah puas dimanjakan oleh keindahan awan tersebut, Janu menyadari bahwa di tempat itu banyak bangunan tua yang sudah runtuh.
Nara memberitahu Janu kalau tempat ini adalah reruntuhan suku mereka. Semenjak kemunduran suku mereka, tempat ini menjadi reruntuhan kuno.
"Jika ini adalah reruntuhan, pasti banyak harta berharga di sini. Mari kita telusuri tempat ini, Nara." Janu sangat bersemangat saat Nara mengatakan kalau tempat ini adalah reruntuhan suku mereka. Jiwa penjelajah makamnya bergelora, dia sudah tidak sabar untuk menjelajahi tempat itu.
"Kamu tidak bisa seenaknya berkeliaran di sini. Memang benar ada harta berharga yang tersembunyi di reruntuhan ini," ucap Nara memutuskan harapan Janu.
"Lantas, kenapa kamu mengajakku ke tempat ini? Bukankah kita akan mengambil harta milik sukumu?" tanya Janu kebingungan.
"Memang benar, kita di sini untuk mengambil harta tersebut. Namun, itu tidak mudah bagimu," jelas Nara.
"Bagiku? Berarti mudah bagimu, 'kan? Kalau begitu aku akan berjalan di belakangmu dan mengikuti seluruh perintah yang kamu berikan, Nara."
"Apa kamu memang terlahir bodoh seperti ini? Aku memang bisa berkeliaran di sini, tetapi kamu tidak, Janu. Kalau kamu ingin mendapatkan harta warisan leluhurku, kamu harus melewati beberapa ujian." Selama bersama Janu, Nara merasa tingkat amarahnya semakin tinggi. Tenaganya terkuras habis untuk meladeni Janu.
"Ujian? Kenapa harus ada ujian? Aku sudah lama tidak sekolah, aku sudah lupa semua mata pelajaran yang sudah aku pelajari dulu," rengek Janu seperti anak kecil.
Nara yang melihat tingkah Janu yang labil itu hanya bisa menghela napas dalam-dalam. "Dengar, ada beberapa ujian yang akan kamu lewati, setiap kamu lolos dalam ujian tersebut, kamu akan mendapatkan harta yang berharga. Ujian pertama, ilusi tak berpenghujung."
"Ilusi tak berpenghujung? Maksudnya aku akan masuk ke dunia ilusi?"
"Benar, untuk melewati ujian itu, kamu harus bisa mematahkan ilusi yang kamu lihat di sana. Perasaan serta pikiran kamu sangat diperlukan di sini, jadi jangan bersikap bodoh." Nara menjelaskan lebih rinci lagi kepada Janu.
"Hei, kamu sudah berulang kali menghinaku. Lalu, di mana aku bisa memulai ujian yang kamu maksud?"
Nara menunjuk lurus, di sana ada sebuah altar. Di lantai altar itu terdapat sebuah lingkaran dengan susunan yang membingungkan. Nara menyuruh Janu duduk bersila di atas lingkaran tersebut, memejamkan mata, dan mengosongkan pikirannya.
Janu yang sudah siap sedia di atas altar itu. Dia mencoba untuk mengosongkan pikirannya agar fokus dan dapat menyelesaikan ujian yang dimaksud Nara. Dia tidak sabar harta seperti apa yang akan didapatkannya nanti. Selang beberapa menit, ujian yang akan dilewati Janu pun dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomb Of Leviathan ✔
Fantasía꧁𓊈𒆜𝕻𝖊𝖗𝖋𝖊𝖈𝖙 𝖈𝖔𝖛𝖊𝖗 𝖇𝖞 𝕿𝖎𝖙𝖎𝖕 𝕯𝖊𝖘𝖆𝖎𝖓𒆜𓊉꧂ Janu Janardana, pemuda yang terikat oleh garis takdir dengan sebuah benda pusaka dari Suku Leviathan dan memiliki dendam mendalam ke salah satu keluarga ternama di Bondowoso. Berbekal...