Pertarungan Janu dan Ekata sudah berlangsung cukup lama, tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Keduanya masih saja bersikukuh, saling bertukar pukulan dan serangan yang luar biasa kuat. Benda-benda di sekitar mereka berdua hancur akibat pertarungan mereka, mengingat bangunan tersebut milik Ekata, sudah dipastikan dia mengalami kerugian yang lumayan besar.
Untung saja, dia tidak memedulikan hal tersebut. Sekarang tatapannya terpacu oleh satu orang yaitu Janu. Ekata bertekad untuk mengalahkan pemuda yang sedang menyerangnya itu. Begitu pula dengan Janu, tidak ada kata menyerah dalam kamusnya. Dia ingin menghabisi Ekata dengan tangannya sendiri, untuk membayar nyawa ayahnya yang sudah direnggut oleh Ekata dan demi nyawa penduduk Suku Leviathan.
Serangan demi serangan, pukulan demi pukulan, serta usaha demi usaha sudah dilakukan Janu. Namun, tetap saja dia belum bisa melukai atau menggores sedikit pun tubuh Ekata. Pria paruh baya yang dihadapi Janu benar-benar memiliki kulit yang sangat keras, semua serangannya tidak berefek sama sekali. Janu sempat kewalahan melawan Ekata yang nampaknya senang berhadapan dengan Janu.
Ekata menikmati sekali pertarungan hidup dan mati tersebut. Dia sudah lama menantikan lawan yang seperti Janu ini, mereka berdua sama-sama memiliki kekuatan yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Bagi Janu, kekuatan yang dimilikinya sekarang adalah berkah yang sangat disyukurinya, berkat kekuatan itu Janu bisa berhadapan langsung dengan Ekata seperti sekarang ini. Lain halnya dengan Ekata, dia menggunakan kekuatannya untuk menindas orang yang lemah dari dirinya, dan mendominasi semua orang di daerah Bondowoso dengan kekuatannya itu. Makanya tidak ada yang berani mengusik Ekata dan orang-orangnya.
Sial, apa yang harus kulakukan dengan orang seperti ini? Semua serangan sudah aku berikan, bahkan serangan kombo sekali pun juga tidak berefek sama sekali. Sebenarnya terbut dari apa kulit Ekata ini? Janu membatin. Dia terlihat kebingungan sekarang. Untung saja, Janu dapat menahan semua serangan yang diberi oleh Ekata. Serangan itu hanya menimbulkan memar di lengannya.
"Bagaimana, Janu? Apa kamu sekarang ingin menyerah?" tanya Ekata sambil menampilkan senyum jahatnya. "Aku takut, jika ini berlangsung lama tidak akan menguntungkan dirimu sama sekali. Kamu sudah melihat kekuatan serta pertahananku yang luar biasa ini, mau serangan apa pun yang kamu tujukan kepadaku, itu tidak akan berefek apa-apa. Aku akan memberimu dua pilihan. Pertama, serahkan bionet itu dan menjadi bawahanku. Kedua, kamu akan terbunuh olehku dan bionet itu akan tetap jatuh ke tanganku. Sekarang pilih yang mana?" tawar Ekata memberi pilihan kepada Janu.
"Kamu sudah tahu jawabannya, Ekata. Walau pun darah di dalam tubuhku hanya tersisa satu tetes, aku tidak akan pernah menyerahkan bionet ini kepada orang sepertimu, encamkan itu!" Janu masih berpegang teguh pada pendiriannya. Tawaran seperti apa pun yang akan diberikan oleh Ekata, dia tidak akan tertarik. Tujuannya masih sama, membalaskan dendam ayahnya dan penduduk Suku Leviathan. Hanya itu, tidak ada yang lain.
"Baiklah, jika itu pilihanmu, kali ini aku akan serius, Janu!" Kali ini Ekata benar-benar serius, dia berusaha menyudutkan Janu.
Janu terpojok oleh serangan Ekata, tidak ada celah untuk memberikan serangan balasan. Janu hanya bisa menangkis dan menghindari serangan Ekata dengan kekuatan darsana. Tanpa kekuatan itu, Janu sudah babak belur, mungkin saja Janu benar-benar akan mati.
Ekata menyudutkan Janu hingga ke pinggir atap, jika Ekata terus-terusan menyerang, Janu akan terjatuh dari atas atap. Jika itu benar-benar terjadi, maka habislah sudah. Energinya sudah menipis, Janu tidak akan sanggup menggunakan kekuatan patangga untuk terbang saat terjatuh. Posisinya saat ini benar-benar terpojok.
"Janu, sebisa mungkin kamu menghindari serangan Ekata yang berikutnya. Lalu, menjauh dari pinggir atap, aku memiliki rencana dan tentunya aku sudah mengetahui kelemahan Ekata. Keberhasilan rencana ini tergantung usaha yang kamu lakukan, Janu. Dan aku percaya kepadamu," jelas Nara lewat telepatinya. Nara sudah mengingat kelemahan dari pertahanan Suku Barbarian, ini adalah kesempatan emas bagi Janu untuk mengalahkan Ekata. Dan sekarang dia harus menjauh dari posisinya yang tidak menguntungkan seperti sekarang.
Saat Ekata melayangkan pukulan ke arah wajah Janu, Janu menunduk dan bergerak dengan gesit ke tengah atap lagi. Janu melihat Ekata menggeram kesal ketika tahu dirinya dapat menghindari serangan tersebut.
Di saat itulah Janu melancarkan serangan sesuai rencana yang diberikan Nara. Janu membuat angin puting beliung versi kecil di sekitar Ekata, angin tersebut berputar membawa debu yang turut serta sehingga pandangan Ekata menjadi terhalang. Serangan ini pernah dipakai Janu saat melawan Birendra, bisa dibilang ini adalah serangan rahasia miliknya.
Ekata meronta di dalam angin puting beliung itu, dia berusaha keluar dari pusaran angin yang menyakitkan matanya. Namun, usahanya sia-sia, ke arah mana pun dia bergerak, angin tersebut akan tetap mengikutinya.
"Angin puting beliung itu tidak akan berhenti sebelum kamu mati di tanganku, Ekata. Serangan ini adalah penentuan dari penantian yang lama, serangan ini juga adalah bentuk rasa marah orang-orang yang sudah kamu bunuh dan tindas." Janu berjalan perlahan ke arah Ekata yang terperangkap di dalam angin puting beliung, Janu juga melayangkan bionet dengan kekuatannya. Bionet itu sudah bersiap menyerang Ekata. "Kukira orang sekuat dirimu adalah orang yang pintar, ternyata kamu adalah orang yang hina dan hanya bisa berlindung di balik kekuatan. Itu sangat mengecewakan."
"Diam kamu, Bajingan Kecil. Pertarungan ini tidak adil, cepat lepaskan kekuatan sialan ini!" Ekata menggerutu kesal di dalam angin puting beliung itu.
"Kamu berkata ini tidak adil? Lalu, mengapa saat bertarung dengan ayahku kamu bertarung dengan tidak adil? Lantas, mengapa pula kamu harus merengek kepadaku meminta keadilan dalam pertarungan ini? Sudah kukatakan, aku bertekad membunuh bajingan busuk sepertimu. Maka terima saja kematianmu di sini!" Janu membalikkan kenyataan. Benar yang dikatakan Janu, tidak seharusnya Ekata meminta keadilan dalam pertarungan itu. Mengingat, di masa sebelumnya dia sudah membunuh dan menindas orang tanpa memandang rasa keadilan.
Janu sudah tidak sabar, dia pun melayangkan bionet ke arah Ekata. Bionet itu melesat cepat, melewati angin yang berputar. Lalu, benda hitam legam itu tertancap tepat di jantung Ekata.
Angin puting beliung yang dihasilkan oleh kekuatan Janu berhenti berputar, sekarang wajah Ekata terlihat jelas. Pria paruh baya yang awalnya terlihat sangat kuat kini mencoba menahan rasa sakit yang teramat. Darah segar mengalir cukup deras dari sela-sela bionet yang tertancap di tubuhnya, seketika wajahnya menjadi pucat pasi.
"Sialan, aku benar-benar kalah," ucap Ekata dengan suara yang lirih. Napasnya tersengal-sengal, saat berbicara pun terbata-bata. "Jangan kamu kira dunia ini akan menjadi aman di masa depan. Sebentar lagi, dunia akan gempar akan hal yang besar, tunggu saja." Itu adalah kata-kata terakhir yang dapat diucapkan Ekata sebelum benar-benar kehilangan nyawanya.
Ekata terbaring tanpa nyawa, bionet masih tertancap di tubuhnya. Janu segera mengambil bionet tersebut, lalu mengibaskannya supaya darah yang menempel hilang tak bersisa.
"Janu, sepertinya yang dikatakan Ekata benar. Aku sedikit merasakan ada yang aneh dengan dunia ini sekarang," ujar Nara menyetujui kata-kata Ekata sebelumnya.
"Tenanglah, aku akan menjaga dunia ini dari orang-orang seperti Ekata ini," balas Janu dengan penuh tekad.
"Bukan, bukan manusia seperti Ekata yang aku rasakan, Janu. Ini lebih dari itu, tetapi aku masih belum merasakan dengan jelas." Nara meralat ucapan Janu.
"Terserahlah, mau makhluk apa pun itu aku akan menjadi lebih kuat dan akan menghadapinya dengan usahaku. Jadi, ayo kita berjuang bersama, Nara." Janu tidak peduli dengan apa pun yang akan dihadapinya di masa depan, dia akan menunggu bahaya yang dikatakan Ekata dan dirasakan oleh Nara.
Setelah pertarungan itu selesai, Janu pergi meninggalkan gedung milik Ekata itu. Dia segera menemui ibunya yang sudah menunggu Janu dengan perasaan yang amat cemas.
"Bu, aku berhasil membunuh bajingan itu," ucap Janu sambil tersenyum. Seakan-akan itu adalah pencapaian terbesar seumur hidupnya.
"Iya, Ibu percaya padamu. Sekarang, ayo kita pulang." Hayi membalas dengan senyum pula. Dia mengajak Janu untuk kembali pulang dan beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomb Of Leviathan ✔
Fantasía꧁𓊈𒆜𝕻𝖊𝖗𝖋𝖊𝖈𝖙 𝖈𝖔𝖛𝖊𝖗 𝖇𝖞 𝕿𝖎𝖙𝖎𝖕 𝕯𝖊𝖘𝖆𝖎𝖓𒆜𓊉꧂ Janu Janardana, pemuda yang terikat oleh garis takdir dengan sebuah benda pusaka dari Suku Leviathan dan memiliki dendam mendalam ke salah satu keluarga ternama di Bondowoso. Berbekal...