;chapter fiveteen

8 5 2
                                    

Janu berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Janu langsung memasuki gedung tersebut, dia menghiraukan petugas keamanan yang berusaha menghentikannya. Geram dengan aksi petugas keamanan, Janu menghantam mereka dengan tangannya yang terkepal. Karena itu juga, banyak orang yang turun dari lantai atas berusaha menghentikan Janu. Mereka juga tak segan-segan beradu tinju dengan Janu. Pada akhirnya tidak ada satu pun dari keroco-keroco itu yang dapat menghentikan Janu.

Janu langsung terbang melewati tangga, dia mengarah ke atas, puncak dari gedung itu. Tak butuh waktu lama untuk Janu sampai di sana. Terlihat seorang pria berbadan tegap, di sampingnya ada Hayi dengan tangan terikat tali dan mulut terbungkam rapat oleh lakban. Hayi meronta ketika melihat anak semata wayangnya datang menyelamatkan dirinya, Hayi sedikit terharu dengan momen itu, tetapi yang tak kalah cemasnya, Hayi takut kalau anaknya akan terluka sewaktu melawan pria yang menyandera dirinya.

Pria itu tertawa jahat, melihat orang yang ditunggu-tunggu telah menampakkan wajah. "Seperti yang diharapkan dari anak seorang Asoka."

"Bajingan! Cepat serahkan ibuku, Ekata!" pekik Janu mengepalkan kedua tangannya.

Ekata menyeringai seram. "Boleh saja, asal kamu memberikan benda yang kuminta. Jika tidak, kamu akan tahu konsekuensinya. Aku tidak menyarankan adanya perlawanan di sini," tawar Ekata dengan liciknya.

Janu tahu, apa pun pilihan yang akan dia lakukan hasilnya sama saja. Janu memikirkan matang-matang dengan tindakan yang akan dilakukannya selanjutnya. Antara memberikan bionet itu kepada Ekata untuk menyelamatkan ibunya atau bertarung melawan Ekata dengan nyawa ibunya yang tidak terjamin. Pilihan itu berkecamuk di dalam pikirannya.

Nara dengan wujud bionetnya merasa Janu sedikit gelisah, dia juga turut serta mencari solusi untuk masalah yang dihadapi Janu saat ini.

Nara berbicara dengan Janu lewat telepati. "Janu, sepertinya aku punya rencana. Aku menjamin seratus persen rencana ini akan berhasil."

Mendengar hal tersebut, Janu merasa tertolong dengan rencana Nara. Dia mendengarkan baik-baik yang dikatakan Nara demi menyelamatkan ibunya. Janu mengangguk setuju dengan rencana yang disusun oleh Nara.

"Baiklah, aku akan memilih opsi ketiga ini," gumam Janu.

Ekata yang melihat Janu hanya terdiam membisu di tempat berhasil membangkitkan rasa kesalnya. "Cepatlah! Jangan buang waktu yang berharga!" seru Ekata.

Mendengar kata-kata itu memberi isyarat bahwa rencananya akan dimulai. Janu mengeluarkan bionet dari sakunya. Kemudian dia berjalan mendekati Ekata, dan berkata, "Aku akan menyerahkan bionet ini." Janu menunjukkan bionet itu kepada Ekata. "Oh iya, ada yang ingin kutanyakan kepadamu sebelum menyerahkan benda ini." Janu berjalan perlahan dan semakin dekat dengan Ekata yang berada di depannya.

Ekata berdengkus tidak sabar dengan Janu yang bertele-tele seperti itu.

"Setelah melihat dirimu, aku sedikit familiar dengan wajahmu. Entah perasaanku saja atau kamu juga merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan ini," ujar Janu dengan santainya, dia mengedipkan mata ke arah ibunya. Hayi paham akan isyarat itu, dia hanya mendengarkan percakapan antara Janu dan Ekata. Dia tidak berani ikut serta mengambil tindakan yang dapat menggagalkan rencana Janu.

Ekata seperti menyadari sesuatu, dia memerhatikan wajah Janu dengan saksama. Yang dikatakan Janu benar, Ekata tidak asing dengan wajah Janu. Dia seperti pernah bertemu di suatu tempat dan itu sudah sangat lama. Ekata berusaha mengingat-ingat wajah yang tertampil pada diri Janu.

"Sekarang aku mengerti apa yang kamu maksud," ucap Ekata yang sepertinya sudah menyadari sesuatu.

"Astaga, apakah Ekata menyadari rencanaku?" batin Janu dalam hati.

Nara menyahut, dia menjelaskan lewat telepati. "Tenang saja, aku merasa dia tidak tahu dengan rencanamu." Janu sedikit tenang setelah mendengar Nara.

"Ternyata sisa-sisa sampah dari suku itu masih hidup. Apa kabar Birendra, teman lamaku?" sapa Ekata dengan wajah liciknya.

"Diamlah, aku bukan temanmu. Aku akan memastikan setelah semuanya usai, aku akan membunuhmu, Bajingan!" Saat inilah Janu akan melancarkan rencananya, ketika jarak dirinya dengan Ekata tidak terlalu jauh. Janu melemparkan bionet ke arah ibunya, dan berteriak, "Nara selanjutnya akan kuserahkan padamu." Setelah melempar bionet, Janu berlari kr arah Ekata mencoba berhadapan langsung. Hal ini bertujuan untuk membebaskan dan memastikan keselamatan ibunya sudah aman.

Ekata menghadang serangan Janu. Kedua pria itu saling dorong, dengan tubuh kecilnya Janu merasa tidak berdaya beradu kekuatan dengan Ekata yang memiliki tubuh dua kali lipat dari tubuhnya.

Di sisi lain, Nara berubah menjadi bentuk manusianya dan melepaskan ikatan di tangan Hayi. Kemudian Nara menyuruh Hayi untuk segera keluar dari tempat ini, Nara juga berpesan kepada Hayi untuk tidak mencemaskan Janu saat ini. Yang terpenting adalah keamanan Hayi.

Hayi mengangguk paham, dia langsung berlari menuju pintu keluar. Nara sudah memastikan keselamatan Hayi sudah aman. Kemudian Nara kembali ke bentuk bionet dan melesat terbang ke arah Janu.

"Sialan, ternyata dari awal kamu tidak ingin menyerahkan bionet itu kepadaku. Baiklah, karena kamu yang meminta, maka akan aku berikan. Aku akan membunuhmu sama seperti aku membunuh ayahmu beberapa tahun yang lalu." Ekata melepaskan tangannya dari Janu dan mundur beberapa langkah.

Janu melihat ada tumpukan besi panjang di sekitar sana, dia memanfaatkan benda itu untuk menyerang Ekata. Dengan kekuatan telekinesisnya Janu melayangkan besi-besi itu, dia juga melapisi besi-besi itu dengan kekuatan ledakan angin miliknya. Lalu, dia menggerakkan tangannya, serangan pun dimulai. Satu per satu besi itu terbang ke arah Ekata.

Namun, serangan itu dapat ditepis oleh Ekata dengan tangan kosongnya. Saat tangan Ekata dan besi itu bersentuhan, sebuah ledakan yang cukup kuat tercipta, tetapi tetap saja dengan kekuatan yang demikian Janu melihat Ekata masih baik-baik saja. Tidak ada luka segores pun yang berhasil terukir pada tubuh Ekata. Ternyata rumor yang dikatakan ibunya memang benar, Ekata memiliki kulit sekeras cangkang kura-kura.

Janu tidak menyerah begitu saja, kali ini dia melayangkan serangan secara bertubi-tubi. Dari serangan-serangan itu menciptakan ledakan yang lebih kuat dari sebelumnya, lantai tempat mereka berpijak juga menjadi retak di mana-mana.

Ketika mendengar suara ledakan yang kuat itu dari arah atap, orang-orang yang berada dalam gedung menjadi panik. Mereka berlarian ke sana-ke mari seperti cacing kepanasan. Takut nyawa mereka melayang begitu saja, mereka berlari meninggalkan gedung. Mereka juga takut kalau gedung itu hancur.

"Sungguh tidak terduga, ternyata kamu benar-benar seperti bumerang bagiku. Aku cukup menyesalinya sekarang, karena telah membiarkanmu hidup waktu itu. " Ekata sedikit takjub dengan perlawanan yang diberikan oleh Janu.

"Enyahlah," tutur Janu dengan amarah yang membara. Dia bertekad bahwa hari ini dia harus biss membunuh seorang bajingan yang sudah membantai habis keluarganya, juga penduduk Suku Leviathan.

"Kamu tahu, sebesar apa pun berusaha kamu tidak akan bisa menerobos pertahananku yang sekuat baja ini," ucap Ekata menyombongkan dirinya dengan penuh bangga.

"Tenang saja, mau dirimu sekuat baja atau pun berlian, aku akan berhasil dan menunjukkan usahaku tidak akan sia-sia saat membunuh bajingan gila sepertimu."

"Jika begitu, aku tidak sabar menantikan kebetulan yang seperti itu!"

Janu dan Ekata kembali bertarung, kekuatan yang mereka berikan membuat daerah sekitar gempar. Pihak keamanan setempat segera mengevakuasi orang-orang yang berada di sekitar gedung tersebut.

Mereka hanya dapat menyaksikan pertarungan hidup dan mati itu dari kejauhan. Yang mereka lihat adalah gumpalan asap dan debu bersatu padu di atas sana.

Tomb Of Leviathan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang