02. Tea banquet

22 19 3
                                    

"Tuan Putri Melia sudah sampai, Yang Mulia" Sesampainya di istana, Tuan Jasper membukakan pintu lebar-lebar membiarkanku masuk ke dalam istana ayah. Ku lihat, ayah sepertinya sudah menungguku di sofa dekat jendela tempat ia duduk sekarang. Aku langsung menghampirinya lalu sedikit menunduk dan duduk di depannya.

"Ada apa Ayah memanggilku tiba-tiba seperti ini?" Tanyaku, tampaknya raut wajahnya sangat senang hari ini. Biasanya juga senang sih, tapi kali ini lebih berbeda.

"Apa kau lupa, putriku? Besok 'kan ada perjamuan teh antar putri dari keluarga bangsawan. Dan itu hari yang kau tunggu-tunggu" Ah iya!! Benar sekali, kenapa aku bisa lupa ya. Aku sangat ingin berteman dengan putri lainnya. Itu adalah pertama kalinya aku berinteraksi dengan mereka. Pasti akan sangat menyenangkan.

"Ayah benar, aku sangat menantikan hari itu. Huhuu, maafkan aku Ayah karna aku bisa melupakannya. Sepertinya aku terlalu keasikan bermain dengan Leucos"

"Tak apa, Putriku. Ayah sudah memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan perjamuan teh di rumah kaca. Kau suka berada di sana 'kan? Atau kau mau ditempat lainnya?" Uwaaa, ayahku ini sangat baik dan perhatian sekali. Aku menyayangimu ayaahh~~

"Tentu saja aku suka! Terimakasih banyak Ayah, aku senang sekalii. Ngomong-ngomong, bunda ada dimana? Aku belum melihatnya dari pagi"

"Oh, dia sedang menanam beberapa mawar di rumah kaca untuk perjamuan teh mu besok. Apa kau mau melihatnya?" Aku mengangguk cepat lalu aku dan ayah pergi menuju rumah kaca yang tak jauh dari istana. Setelah aku memasukinya, aroma-aroma wangi dari segala jenis bunga mulai memasuki indra penciumanku. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan bunda, berhubung rumah kaca ini lumayan luas.

"Putriku~" Suara yang ku kenal ini datang dari belakangku, dengan cepat aku menoleh ke belakang. Dia adalah bundaku, Ratu Asterin Meira Domhnall. Wanita yang dikenal sebagai "Gadis Mawar" di kerajaan Domhnall karna beliau menyukai mawar dan dapat menumbuhkan bunga mawar dengan sihirnya. Ngomong-ngomong aku juga memiliki sihir itu.

"Bundaa!! Apakah sejak pagi Bunda sudah ada disini?" Aku memeluk bunda dan langsung merasakan wangi mawar. Kemudian bunda mengelus surai hitamku dan tersenyum manis.

"Tentu saja, Bunda harus menyiapkan untuk besok. Apa kau sudah lapar putri kecil?" Dia mengangguk kemudian menggandeng tanganku dan mulai berjalan santai.

"Tidak, Bun. Aku tidak lapar, aku hanya ingin mencari Bunda saja. Ah iya, tampaknya ini sudah mulai gelap. Apa sebaiknya kita kembali ke Istana saja, Bun? Bunda juga pasti sudah lelah." Aku menoleh ke kanan, menatap bunda. Yah, beliau memang kelihatan sudah lelah. Sebaiknya aku harus menyiapkan teh sencha untuknya. Yup, teh kesukaannya.

Kami berdua, ah maksudku bertiga (dengan ayah juga)  berjalan kembali menuju istana. Ketika malam sudah tiba, kami menyantap makan malam dengan damai dan nyaman. Kami juga sembari berbincang ringan dan bercanda. Sungguh harmonis.

"Melia, ada dimana Leucos? Apa dia sudah pulang?" Tanya bunda yang sudah selesai menghabiskan makanan pencuci mulut. Kini dia sedang menyeruput teh sencha yang sudah aku siapkan setelah kembali dari rumah kaca tadi sore.

"Sudah, Bun. Tadi dia sempat pingsan di ruang bawah tanah karena menyentuh permata emas itu. Dia keras kepala sekali" Aku menghela nafas lalu melanjutkan memakan sepotong kue. Tiba-Tiba aku teringat sesuatu tentang permata yang dilarang itu. Kemudian aku melanjutkan kalimatku.

"Ekhem ... jika aku boleh bertanya kepada Ayah, memangnya ada apa dengan permata yang ada di ruang bawah tanah? Kenapa Ayah melarang semua orang memegang itu?" Tanpa sadar ayah menjatuhkan sendoknya lalu terbatuk-batuk karena tersedak. Apa aku salah bicara?

"Uhuk ... uhuk ... Sepertinya ayah belum bisa menjelaskannya kepadamu" Setelah beliau mengatakan itu, ia berdiri dan pergi meninggalkan meja makan, diikuti dengan bunda. Bunda juga terlihat kaget sama seperti raut wajah ayah tadi. Kini yang tersisa hanya aku serta para pelayan yang berdiri mengitari meja makan.

"Aku tidak mengerti" Gumam ku pelan. Ketika aku ingin menyuap sesendok kue lagi, seekor burung merpati yang indah terbang ke arahku dengan secarik surat di kakinya. Lantas, aku mengambil burung itu dan mengambil surat yang ada padanya.

"Salam dari Domhnall, burung ini adalah hadiah dariku untuk Putri. Terimakasih sudah menyelamatkan nyawa ku tadi, semoga kau menyukai burung yang aku pilihkan ini untukmu. Dari Leucos Eferhild" ahahaha ternyata dia benar-benar memberiku seekor burung. Padahal tadi siang aku hanya bercanda soal hadiah, tapi tidak apa-apa aku tetap menyukainya.

"Halo burung yang cantik, aku akan memberimu nama Glatemo."

I Am Emygdia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang