Aku Bukan Piala Bergilir

2.6K 74 13
                                    

.

Aku keluar dari mobil dan langsung menghampiri Ayah. Ia menatapku dan menyambut dengan tersenyum. Begitu juga Danjou, manusia yang tak punya perasaan itu.

“Akhirnya kalian datang juga, sudah lama kami menunggu. Bagaimana Letta, kamu baik-baik saja, kan? Saya bangga dengan Ayah kamu. Dia benar-benar bisa menjaga putrinya dengan baik, bahkan tak tersentuh oleh pria lain selain saya. Saya puas, Pak Junet.” Suara Danjou membuatku ingin muntah.

Aku mempertahankan kesucianku karena aku ingin memberikan yang terbaik untuk pria yang kelak menjadi suamiku. Bukan untuk dijual, terlebih pada pria tua yang memiliki banyak istri.

“Ini, saya sudah daftarkan kamu kuliah. Tugas kamu hanya sehari untuk saya. Kamu saya lepas, perjanjian dengan Ayah kamu pun sudah saya anggap selesai. Hutang Ayah kamu sudah lunas. Sekarang kamu bisa meraih masa depan kamu bersama El.” Danjou melihat ke arah El.

El hanya menunduk hormat, sementara aku tidak mengerti maksud ucapannya.

Danjou menyerahkan sebuah dokumen. Kulihat isinya, benar kalau namaku sudah terdaftar di salah satu universitas. Berarti Ayah yang memberikan semua berkasnya pada pria tua ini.

“Besok kau nikahi Arletta, jaga dia baik-baik, El. Jangan pernah sakiti hatinya.” Danjou tersenyum, lalu menyerahkan sebuah amplop pada El.

Aku menatap El yang menerima amplop coklat itu, yang kuyakini berisi uang.

“Siap, Tuan.” El menunduk hormat.

“Sebentar, saya nggak ngerti. Maksud kalian apa? Kalian mempermainkanku? Aku seperti piala bergilir. Ayah, kenapa Ayah tega denganku? Jawab, Yah?” Aku mencoba mencari penjelasan pada pria paruh baya yang sejak tadi hanya diam.

Ayah mengusap lembut tanganku, jujur saja aku rindu dengan keadaan di mana dulu Ayah sellau melindungiku. Melindungi dari teman laki-laki yang mencoba menggoda, dari anak-anak yang nakal. Dia adalah superhero di waktu aku kecil. Lalu mengapa sekarang semua berubah.

“Maafkan Ayah, Nak. Ayah butuh uang untuk melunasi hutang Ayah. Kamu tahu kan, menjadi pemulung itu tak bisa mencukupi kebutuhan kita. Hanya ini satu-satunya cara Ayah bisa mendapatkan uang.”

“Astaga, Ayah. Kenapa Ayah jadi seperti ini?”

Tanpa terasa, air mataku kembali menetes. Kali ini kubiarkan membasahi wajah. Aku kesal sekali, di sini aku seperti tidak dianggap manusia sama sekali. Aku seperti benda yang bisa mereka perjual belikan pada siapa pun yang berani bayar mahal.

“Lalu kenapa Tuan malah menyuruh El menikahi saya?” tanyaku masih dengan menahan sesak di dalam dada.

“Karena saya ingin kamu bahagia.”

“Bahagia?” Aku menggeleng. “Bagaimana aku bisa bahagia kalau kalian mempermainkanku seperti ini.”

Aku berlari hendak keluar halaman. Namun tiba-tiba saja tubuhku tertarik ke belakang, menabrak tubuh seseorang yang sudah mendekapku erat.

Aku memejamkan mata, menumpahkan segala perasaan di dadanya. Aroma parfum dari tubuh laki-laki di pelukanku ini membuatku sedikit nyaman, meski rasa ingin berontak itu ada.

“Aku akan membuatmu bahagia,” ucap suara di depanku.

Kudorong tubuhnya, lalu menatapnya dengan pandangan bertanya. “Kamu bilang tadi kamu nggak suka perempuan murahan? Kamu bilang kamu nggak mau dengan wanita yang nggak bisa menjaga kesuciannya. Kamu pikir aku apa?”

“Maaf, apa kamu nggak ingat?”

“Ingat apa, El?”

Kulihat El mengembuskan napas pelan, lalu meraih tanganku dan membawanya ke dalam rumah besar itu. Sementara kedua pria paruh baya tadi hanya melihatku begitu saja.

Aku tak mengerti dengan permainan mereka apa. Sampai aku di bawa ke dalam rumah besar ini dan El mengajakku ke lantai dua.

Kupandangi barisan pintu di lantai dua. Lebih tepatnya mungkin kamar-kamar. Dari luar aku mendengar beberapa suara desahan, dan erangan yang membuatku mual.

“Maksud kamu membawaku ke sini apa, El?” tanyaku dengan degup jantung yang makin tak keruan.

El kembali menarik tanganku menuju lantai tiga. Di sini terdapat sebuah aula, di bagian ujungnya tiga buah meja billiard, kursi panjang dan meja bundar. Ini rumah atau?

Astaga, aku melihat sepasang manusia tengah asyik bergumul di bawah meja besar. Mereka berdua bahkan tak peduli dengan kehadiranku. Kaki ini pun rasanya gemetar.

Aku membalikkan badan, tak ingin melihat lebih lama perbuatan itu. “El, jujur, ini tempat apa?”

“Rumah ini tempat bersenang-senang. Harusnya kamu bersyukur, Tuan Danjou tidak memperkerjakan kamu seperti para wanita yang ada di sini. Kamar-kamar di lantai dua itu berisi wanita yang pernah dibayar Tuan Danjou, dan mereka membohongi Tuan, mengaku perawan ternyata tidak. Akhirnya mereka harus bekerja menjadi budak seks para laki-laki hidung belang. Sementara kamu, dilepas Tuan dan akan menjadi istriku.”

“Kamu pilih mana? Menjadi seperti mereka, atau menjadi istriku?” tanya El lagi.

“Kamu juga budaknya Tuan Danjou?”

“Aku ajudannya.”

“Tapi, kamu menerima aku sebagai istri, padahal kamu tahu aku bekas siapa.”

El tak menanggapi, ia hanya tersenyum miring. Entah apa isi kepalanya sekarang, atau jangan-jangan dia memang ingin merasakan tubuhku seperti tuannya itu?

.

El membawaku ke sebuah tempat. Rumah yang masih berada di komplek perumahan milik Danjou tadi. Hanya saja rumah ini ukurannya lebih kecil, terlihat asri dan tidak bising.

“Masuk!” El membukakan pintunya untukku.

Aku menurut, lalu melihat sekeliling. Semua furniture di rumah ini sangat sederhana, dan minimalis.

Aku suka warna sofanya, merah maroon. Meja bulat di bagian tengah. Lemari yang berisi susunan buku terlihat rapi. Aku duduk meskipun tidak dipersilakan.

Kulihat El membuka kemejanya, tampak jelas lengan kekarnya dari belakang, ah mengapa jantungku jadi berdebar seperti ini. Letta, please, kamu dijual, bukam untuk menikmati semua permainan ini. Ia lalu menggantung kemeja itu di sebuah tiang khusus. Ia melangkah ke dalam, entah ke mana. Aku pun bernapas lega.

Tak lama El kembali dengan bertelanjang dada dan bagian wajah juga rambutnya basah. Membuat debar jantung ini semakin tak keruan. Terlebih ia berjalan mendekatiku. “Istirahat di kamar, Letta. Ini kamar kamu. Aku mau pergi sebentar.” El kembali memakai pakaiannya.

Aku menelan saliva saat ia melintas di sebelahku dan mengusap lembut rambut ini.

“Mau ke mana, El?” tanyaku saat ia sudah berada di depan mobilnya.

“Sudah, kamu kunci saja pintu rumah ini. Aku punya duplikatnya. Istirahatlah, nanti malam kita bersenang-senang,” ujarnya seraya mengerlingkan sebelah mata dan dengan cepat ia masuk ke mobilnya.

Aku menatap kepergiannya dengan hati yang tak bisa kugambarkan. Harusnya aku sedih, harusnya aku marah, harusnya ini kesempatanku untuk melarikan diri. Namun, mengapa aku justru merasa berat pergi dari tempat ini. Aku butuh El.

“Non.” Sebuah suara mengejutkanku.

Aku menoleh, seorang wanita paruh baya mirip dengan Ibu berdiri di belakangku. Kupikir, di rumah ini tidak ada siapa-siapa.

“Non Arletta? Saya Bi Minul, yang bantu Tuan El di sini. Wah, Tuan El akan betah di rumah kalau punya istri secantik Non Letta. Mari, Non. Kamarnya sudah saya siapkan.”

Aku terperangah, bahkan El memperlakukanku lebih manusiawi dari pada Danjou. Padahal aku belum benar-benar sah menjadi miliknya.

.

Bersambung.

AKU DIJUAL AYAHKU 500JUTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang