.
“Kenapa? Kamu kaget? Mau lihat ke dalam?” El menarik tanganku menuju pintu besar berwarna putih itu.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, menurut dengan jantung berdebar. Ketika tangan El mulai mendorong pintunya dan terbukalah dengan lebar ruangan yang lebih mirip dengan aula, berdinding kaca dan kami disambut oleh dua wanita cantik.
Kedua wanita itu menyambutku dan El, yang satu berambut pendek sebahu, dan yang satu berambut panjang. Riasan wajah keduanya begitu mencolok, yang rambut pendek menghisap rokok dengan santai. Dengan postur tubuh bak model, tampak anggun dan menarik.
Hanya saja, satu yang disayangkan. Mengapa mereka di sini? Dan mereka berdua menyambut dengan tanpa sehelai benang pun.
Aku melihat El hanya tersenyum kecil, ia benar-benar sudah terbiasa melihat ini semua. Menjijikkan.
Lalu dari belakangku seorang pria paruh baya datang, dengan jas dan kemeja berwarna hitam. Rambut klimis, berkumis, dan sedikit tambun. Kedua wanita tadi beralih, karena mungkin El tidak menghiraukan mereka.
Astaga, laki-laki itu pun tanpa sungkan dan malu. Langsung melucuti pakaiannya sendiri, dan dua wanita tadi membantunya. Kemudian mereka berjalan mencari tempat untuk bercinta.
Aku menarik tangan El keluar ruangan itu. Benar-benar membuatku mual, dan mereka itu sudah seperti binantang saja. Bercinta di depan yang lain tanpa malu, tanpa sungkan.
“Kenapa, Letta? Kamu kaget? Ini sudah biasa dilakukan sama mereka. Dan pelakunya memang butuh hiburan, apalagi hari ini gratis. Karena Tuan sedang ulang tahun. Kalau malam minggu biasa bayarnya mahal. Tapi bagi mereka yang bingung cara menghabiskan uang, ya nggak ada apa-apanya dibandingkan tidak mendapat kesenangan.”
Aku benar-benar masih tak percaya, di luar sana masih banyak sekali orang yang mungkin bernasib sama denganku dan keluargaku. Miskin, kekurangan, bahkan untuk sekadar mencari makan dan menyambung hidup saja mereka sulit. Sedangkan di sini?
“Apa mereka nggak takut dosa?” tanyaku ragu.
El tertawa kecil. “Dosa? Itu urusan pribadi masing-masing. Aku rasa mereka tahu itu, tapi mereka juga butuh hiburan. Bisa saja kan di luar sana mereka juga rajin ibadah dan sedekah. Mungkin menurut mereka bisa menjadi penyeimbang lah atas maksiat yang sering mereka kerjakan.
“Nggak bisa gitu, El. Mana ada ibadah berjalan seiringan sama maksiat.”
“Sudahlah, Letta, aku nggak mau debat sama kamu. Aku lapar, ke atas yuk!”
Tanpa menunggu persetujuanku, El langsung menarik tanganku ke arah tangga. Kami menaiki anak tangga satu persatu. Beberapa pasang mata yang berada di lantai dua menatap ke arah kami.
Aku tidak tahu El mau membawaku ke mana, ini sudah di lantai tiga, dan tanganku masih di genggamnya. “Ke mana kita, El?”
“Ke paling atas rumah ini.”
El terus membawaku menaiki anak tangga, hingga kami benar-benar berada di paling atas rumah ini yang ternyata ada tempat terbuka khusus di sini. Namun, sepi.
Di ujung dekat dengan pagar pembatas ada dua kursi, dan satu buah meja berbentuk bundar. Di atas meja itu ada sebuah lilin, dan vas bunga berisi mawar merah. El perlahan mengajakku mendekati kursi itu.
Kemudian ia menarik kursinya ke belakang dan menyuruhku duduk. Aku menurut, sambil melihatnya yang berjalan ke kursi di depanku. Sorot matanya yang tajam, membuatku seperti terpanah. Apa aku mulai menyukainya?
“Nah, malam ini akan menjadi malam pertama kita mengawali hidup yang baru. Kamu dan aku,” ucapnya sambil meraih gelas berisi minuman ke hadapanku.
Aku ikut mengambil minuman di depanku, dan kami bersulang. Kuminum perlahan minuman dingin yang ternyata adalah lemon tea. Membuat tenggorokan yang tadi kering pun akhirnya basah dan lebih nyaman sekarang.
“Aku pesankan nasi goreng seafood paling enak. Karena aku takut kalau aku pesan makanan mewah yang lain, nanti kamu nggak akan makan karena lidah kamu belum terbiasa.” El terkekeh.
Aku hanya manyun saja setiap kali ia meledekku. “Bisa tidak, kamu tidak mengejekku terus menerus, aku tahu aku miskin, aku tahu aku tidak pernah makan enak, aku juga tahu aku tidak ....”
El meletakkan satu jarinya ke bibirku, sampai aku tidak bisa melanjutkan ucapanku lagi. Kami pun saling bersitatap, ada debar aneh yang menyeruak saat tangan El mengusap lembut pipiku pelan.
Tanpa sadar aku menyentuh tangannya, lalu ia pun menjauhkan tangan itu. “Kita makan, nanti setelah ini akan aku kasih lihat sesuatu yang harus kamu ketahui.”
Aku hanya mengangguk, menikmati tiap suapan nasi goreng yang benar-benar nikmat. Rasanya mengalahkan makanan paling mahal yang pernah aku beli.
Tiba-tiba El menyodorkan suapan ke hadapanku. Tuhan, kenapa ia begitu romantis malam ini? Aku tak bisa menolak setiap apa yang ia lakukan untukku. Terlepas dari mana aku bisa berada di sini.
Aku membuka mulut, dan El mulai menyuapiku perlahan. Senyum tipisnya menghapus semua rasa kesalku setiap kali mengingat betapa hancurnya aku kemarin. Apakah aku menyesal berada di sini?
Aku berharap malam ini akan berlalu lebih lama, di sini. Menikmati malam yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Hanya berdua, beratap langit, dengan embusan angin yang menerpa kulit membuatku semakin terbuai.
Selama sekolah aku tak pernah berduaa dengan lawan jenis, apalagi berpacaran. Ayah selalu melarangku, dia bilang. ‘Kamu wanita yang harus bisa menjaga kesucian untuk suamimu kelak, karena wanita baik akan mendapatkan pria yang baik juga.’
Kini, aku berharap kalau memang nasibku seperti ini. Biarkan aku menemukan jodoh terbaikku, meski mungkin raga dan tubuh ini sudah pernah terjamah oleh pria lain.
.
Selesai makan, El mengajakku turun. Kami melangkah ke lantai tiga. Tempat di mana tadi siang aku melihat sepasang manusia yang bergumul tanpa rasa malu itu. Mungkinkah di tempat itu sekarang lebih ramai?
Tak bisa kubayangkan.
El membuka pintu ruangan itu. Ternyata dugaanku salah. Aula yang tadi kosong, kini sudah ramai dan full musik. Aku melihat ini seperti diskotik, yang pernah kulihat di televisi. Ada seorang DJ di tengah-tengah.
Ruangan gelap, hanya ada lampu sorot yang berputar-putar, lalu lampu ambience yang menempel di dinding. Suasana begitu meriah. Bahkan kulihat pula Danjou berjoget di atas podium, terlihat begitu menikmati malam yang panjang ini.
Ke mana istri-istrinya?
Apa mereka tahu kelakuan suaminya?
“Kita dansa?” El menyodorkan tangannya ke arahku.
Aku tersenyum kecil, “Aku nggak bisa, El.”
“Aku ajari, ayolah!”
“Tapi musik ini bukan untuk berdansa, El.”
“Siapa bilang?”
El menarikku hingga ke tengah-tengah lantai dansa. Pengunjung yang lain memberikan jalan pada kami, bersorak menyambut kedatangan kami. Pria di depanku ini lalu menjentikkan tangan ke atas, seketika musik berubah haluan.
Tangan kanan El meraih tangan kiriku, menggenggam erat dan mengangkatnya ke atas, sementara tangan kirinya berada di pinggangku. Aku meletakkan tangan kiri di bahunya. Jarak kami begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan embusan napasnya di wajahku.
El menatap erat sambil menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan musik yang mengalun pelan. Sesekali kaki yang tak terbiasa ini menabrak kakinya, dan kami saling melempar senyum.
“Letta, aku ke toilet dulu, ya. Perut aku sakit,” ucap El si telingaku.
El melepas tangannya dan berlari ke luar, meninggalkanku begitu saja di sini.
Tiba-tiba seorang pria menghampiriku dan tersenyum genit, dengan mata yang mengerling lalu meraih tanganku untuk mengikutinya berdansa. Aku berontak, tangannya semakin erat menggenggamku, dan mencengkeram pinganggku.
“Aku tahu kamu wanita paling mahal di sini, sampai-sampai El mau memakaimu,” ucapnya.
Mataku memanas mendengar ucapannya.
El tolong aku.
.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU DIJUAL AYAHKU 500JUTA
RomansaArletta gadis yang baru saja lulus sekolah itu, harus mengalami nasib pahit. Sang ayah menjualnya pada seorang mafia yang lebih tepat dibilang mucikari. Arletta bertemu dengan Erlangga, sang ajudan yang diminta untuk menjaganya. Namun, Erlangga tak...