.
Aku mengikuti langkah Bi Minul, wanita paruh baya yang kutaksir berusia lima puluh tahun ke atas memiliki postur tubuh yang kurus dan tingginya mungkin hanya 150cm. Rambut ia sanggul, menggunakan daster panjang dan jalannya gesit.
Ia membawaku ke sebuah kamar, kira-kira berukuran 4x4m2. Ada sebuah kasur king size di tengah dengan sprei motif bunga mawar. Satu meja rias besar, sebuah lemari kayu dua pintu, dan ada kamar mandi di dalamnya.
“Non, di sini ada pakaian yang bisa digunakan untuk ganti sehari-hari. Pakaian dalamnya juga sudah ada sesuai ukuran. Semua Tuan El yang membelikannya kemarin.” Wanita paruh baya di depanku membuka lemari dan memperlihatkan isinya padaku.
Aku terdiam sesaat, menatap tumpukan baju warna warni, juga gaun di bagian lemari gantung. Lalu di bagian bawah pun tersusun rapi pakaian dalam.
Bibi bilang El membelinya kemarin?
Berarti dia sudah mempersiapkan semuanya, dia juga sebenarnya sudah tahu kalau aku akan dibawa ke sini, dan dilepaskan oleh Danjou? Lalu kenapa ia tak bicara jujur padaku?
“Saya permisi dulu, ya, Non. Kalau butuh sesuatu, saya ada di kamar belakang.” Bibi pun menutup kembali lemari kayu itu kemudian melangkah keluar kamar dan menutup pintunya dari luar.
Aku terduduk di tepi ranjang, menatap jendela kamar yang terbuka. Karena posisi rumah ini berada di hook, maka dari kamar langsung terlihat taman yang berada di samping rumah El. Taman bermain khusus untuk anak-anak itu masih tampak sepi, karena di luar matahari masih terlihat terang dan panas.
Ting.
Aku mendengar sebuah suara, makin lama makin kencang dan sering. Aku mencari arah suara tersebut. Sebuah ponsel tergeletak di nakas.
Aku hanya mengernyit, menatap layar yang menyala dan menampilkan foto El di sana. Siapa yang menelpon?
Angkat? Tidak?
Panggilan pun berhenti. Aku bernapas lega, atau kemungkinan ponsel El tertinggal?
Saat aku kembali hendak berbaring, ponsel itu kembali berdering. Kali ini sepertinya harus kuterima panggilan itu. Aku hanya takut kalau ternyata penting.
Perlahan kuraih benda pipih berwarna hitam itu, kugeser gambar gagang telepon berwarna hijau dan meletakkan ponsel itu ke telinga.
“Ya, Hallo.”
“Arletta, kenapa lama sekali kamu angkat teleponku?”
“El?”
“Ya, ini aku. Kamu sudah makan? Bibi membuatkanmu makan siang?”
“Tidak, eum, maksudku, belum.”
“Kamu mau aku bawakan makanan apa? Aku lagi di resto. Kamu suka seafood atau kamu mau pizza, burger, spagetti, atau makanan Jepang. Karena kuyakin kamu nggak pernah makan makanan seperti itu.” Suara El terkekeh geli.
Sial! Kenapa dia mengejekku.
Kuputus sambungan telepon dan menekan tombol power agar tak lagi berbunyi. Maksudnya apa? Kupikir dia baik menawarkanku makan, tapi mengapa harus mengejekku?
Aku lalu membaringkan tubuh, melepas penat dan berusaha bersikap seolah hati ini baik-baik saja. Padahal aku ingin lari, tapi aku sama sekali tak punya uang untuk pulang, pergi jauh dari sini.
.
Tiba-tiba aku merasa pipiku menghangat. Aku membuka mata perlahan, dan terkejut melihat El sudah berada di sebelahku dengan tangan kiri berpangku pada kepalanya.
Aku langsung duduk, menatapnya tajam. “Apa yang kamu lakukan, El?” tanyaku gugup seraya menarik selimut menutupi tubuhku.
“Hanya membangunkanmu. Lihat, sudah jam berapa? Kamu tidur atau pingsan? Dari tadi kuketuk pintu kamarmu tak ada sahutan, bahkan Bibi mencoba membangunkanmu, tapi tetap saja kamu bergeming. Ternyata satu kecupan mampu membuat wanita di depanku terbangun.” El beranjak dari ranjang.
“Mandi! Kita pergi sekarang sebelum gelap!” titahnya.
“Kamu mau ajak aku ke mana?”
“Kita pesta, di rumah Tuan Danjou yang tadi kita datangi.”
“Enggak, aku nggak mau ke sana.”
Aku takut, bagaimana nanti kalau di sana aku akan diperlakukan seperti wanita-wanita yang tadi El sebutkan? Atau mungkin El yang akan melakukannya denganku?
“Kenapa? Tuan Danjou sedang merayakan hari ulang tahunnya. Kita semua diundang, banyak tamu istimewa di sana. Mungkin kamu nggak akan pernah temui orang-orang penting di luar sana kecuali di acara nanti.”
“Aku nggak peduli, aku nggak mau, El. Please. Aku mau istirahat.”
El melangkah kembali ke ranjang, ia lalu membaringkan tubuhnya sendiri di kasur. “Okey, kalau kamu nggak mau, kita bersenang-senang saja di sini. Karena Bibi tahunya kamu dan aku adalah sepasang suami istri, jadi kamar kita sekarang sama-sama.”
Deg.
Bagaimana ini kalau malam ini El tidur di sini denganku?
Atau lebih baik aku mengikuti apa maunya saja pergi ke pesta dan di sana dia tak mungkin berani berbuat macam-macam karena banyak orang.
“Okey, okey, aku siap-siap. Kamu keluar!” kataku pada akhirnya.
El tersenyum miring dan beringsut dari ranjang, ia melangkah mendekatiku. Lalu kembali mengusap lembut pipi ini, “Dandan yang cantik!” ucapnya lirih sebelum meninggalkanku.
El telah membuat jantungku kembali berdenyut, belum lagi darahku yang seketika berdesir saat tangannya menyentuh pipiku dengan hangat.
El kenapa kamu harus membuatku menjadi seperti ini?
Sesaat aku memejamkan mata, aku tak ingin terbuai dengan semua ini. Namun, gimana caranya aku terlepas dari semuanya?.
.
Gaun berwarna pink kupilih, dengan bagian bawah yang lebar sepertinya cocok untuk dipakai. Karena tertutup dan hanya memperlihatkan bagian atas bahuku saja.
Aku memoles wajah dengan riasan yang tipis. Kosmetik yang ada di meja rias semua masih baru. Dan aku belum pernah sekalipun memakai alat-alat seperti ini. Lipstik pun kucoba sedikit, karena aku tidak ingin terlihat mencolok.
Hanya saja masalahku adalah, aku tak memiliki sepatu atau sandal yang pantas.
“Letta, sudah belum?” Suara El terdengar dari depan pintu.
Aku pun bergegas, karena hari sudah mulai gelap. Kubuka pintu kamar perlahan, kulihat dia yang juga sudah rapi dengan kemeja merah maroon, rambut tersisir rapi dan wangi.
Dia menatapku melihat dari ujung rambut sampai kaki. Lalu ia menarik bagian bawah rokku. “Kamu nggak pakai alas kaki?” tanyanya.
“Mana kupunya.”
“Sebentar.”
El berjalan ke belakangku, masuk ke kamar dan mencari sesuatu dari dalam lemari pakaian bagian bawah. Sebuah kotak ia ambil dan membawanya ke hadapanku. Ia berjongkok, mengambil sepatu berhak dan meraih kakiku, memasangkannya di kedua kaki ini. Pas.
Dari mana dia bisa tahu ukuran sepatuku?
El bangkit, lalu kembali meraih tanganku. Memintaku duduk di depan meja rias, lalu mengambil sesuatu dari laci meja, dan memegang wajahku.
Astaga, ia memasangkanku bulu mata. Aku hanya diam melihatnya melayaniku, merubah penampilanku sedemikian rupa.
“Malam ini kamu milikku, aku ingin kamu tampil cantik dan berbeda dari yang lain,” ucapnya setelah selesai merias wajahku.
Sungguh, baru pertama kali aku diperlakukan demikian oleh seorang lelaki. Ia lalu meraih tanganku, dan membawaku keluar kamar.
.
Kami tiba di rumah Danjou. Ternyata benar, acaranya sangat meriah. Kata El banyak orang penting seperti pejabat yang datang, tapi mana aku kenal dengan mereka. Aku saja bahkan tak pernah menonton televisi.
El terus menggandeng tanganku sampai kami tiba di depan pintu masuk rumah itu. Suara musik yang terdengar keras memekakkan telinga. Namun, satu yang membuatku tercengang adalah, tulisan di pintu salah satu ruangan di lantai bawah.
“WAJIB TAK BERBUSANA!”
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU DIJUAL AYAHKU 500JUTA
RomanceArletta gadis yang baru saja lulus sekolah itu, harus mengalami nasib pahit. Sang ayah menjualnya pada seorang mafia yang lebih tepat dibilang mucikari. Arletta bertemu dengan Erlangga, sang ajudan yang diminta untuk menjaganya. Namun, Erlangga tak...