.
“Maaf, Ibu. Bisa saya bicara sebentar dengan Arletta.” Lelaki di belakangku berbicara dengan nada yang begitu halus dan sopan.
Kulihat Ibu tersenyum dan mengangguk, “Silakan, Nak.”
Aku menoleh ke arah El, dia memberiku isyarat dengan kepalanya agar aku mengikutinya keluar kamar.
Kami pun duduk di ruang tamu. Rumah yang aku tempati selama ini adalah hanya sebuah rumah kontrakan yang berisi dua kamar. Harganya pun terbilang murah, karena si empunya rumah masih saudara Ibu. Ayah diberi keringanan membayar tiap bulannya dengan potongan harga.
Aku dan El duduk di kursi kayu, kami saling pandang sesaat. Lalu ia memalingkan wajahnya dan merogoh saku kemeja. Seperti biasa ia kembali menghidupkan rokoknya, hingga kepulan asap memenuhi ruangan.
“Jangan merokok di sini, El. Ibu akan batuk kalau sampai asapnya masuk ke kamar,” kataku yang juga mulai merasa sesak menghirup asap rokok itu.
El melirik sekilas, “Kamu tutup pintu kamar ibumu. Habis ini aku mau bicara.”
Entah mengapa aku hanya menurut saat dia memerintah. Aku beranjak, menutup pintu kamar Ibu. Wanita paruh baya itu hanya melihatku dan tersenyum, tanpa sepatah kata pun. “Ibu istirahat, ya.”
Ibu hanya mengangguk saja. Ah Ibu, andai aku punya cukup uang untuk membawamu ke rumah sakit. Aku tidak akan membiarkanmu hanya berbaring dan menahan sakit sendiri.
Aku tidak kembali ke depan, melainkan berjalan ke dapur. Rasa haus seketika menyergap, kubuat dua cangkir kopi hitam. Untukku juga El.
Usiaku mungkin masih terbilang muda, delapan belas tahun. Aku yang baru lulus sekolah menengah atas ini memang tak memiliki kelebihan apapun, otak pas-pasan, uang tak punya. Hanya saja tubuhku yang kata orang memiliki postur tinggi juga badan yang tak gemuk atau kurus. Membuat kekuranganku tak terlihat dari segi fisik.
Orang merendahkanku karena keluarga kami yang miskin. Ayahku hanya seorang pemulung, dan ibuku lumpuh. Aku menyukai kopi karena aku bekerja sambilan di sebuah warung kopi pinggir tol setiap kali pulang sekolah.
Namun, itu hanya pekerjaan paruh waktu. Gaji pun tidak seberapa, karena bagiku saat itu bukan gaji besar, melainkan untuk membeli kebutuhan sekolah aku bisa menabung dari hasil jerih payahku sendiri.
Melayani membuatkan kopi dan menyediakan cemilan untuk sopir truck adalah kegiatanku sehari-hari. Tak ayal mereka sering menggoda tapi tak sampai bersikap kurang ajar. Meski tak sedikit yang menyatakan suka denganku.
Lalu aku terima? Tentu saja tidak. Karena rata-rata para sopir sudah memiliki istri juga anak. Aku pun ingin masih ingin melanjutkan sekolah, bekerja dan mencari pendamping hidup yang bisa membawaku pada kebaikan dan jalan menuju surga.
Kini, semua bayangan akan masa depanku seolah musnah. Saat di malam kelulusan Ayah justru menjualku pada lelaki beristri empat. Aku tak habis pikir, apa tujuan Ayah? Hanya karena uang, untuk apa uang sebanyak itu?
“Kamu sedang apa?” Sebuah suara mengejutkanku.
Kopi yang sudah kutuang ke dalam cangkir sampai lupa belum kuberi air panas. Air di dalam panci pun nyaris tiris karena aku terlalu lama melamun.
Dengan cepat aku mematikan kompor, menuang air panas tersebut ke dalam cangkir. Kuaduk cairan berwaran hitam pekat itu, lalu membawanya ke ruang tamu.
Dua cangkir kopi sudah kuletakkan di atas meja. “Diminum, El.”
“Terima kasih.”
El meraih cangkir tersebut, menyesapnya perlahan. “Kopi buatanmu enak, rasanya pas, gula dan kekentalannya,” pujinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU DIJUAL AYAHKU 500JUTA
RomanceArletta gadis yang baru saja lulus sekolah itu, harus mengalami nasib pahit. Sang ayah menjualnya pada seorang mafia yang lebih tepat dibilang mucikari. Arletta bertemu dengan Erlangga, sang ajudan yang diminta untuk menjaganya. Namun, Erlangga tak...