Hangat

1.9K 60 3
                                    

.

Bugh!

Pria di depanku tersungkur, aku dengan cepat meloloskan diri. El yang baru saja memukul pria yang memaksaku berdansa. Kemudian ia pun menarik kerah baju pria besar itu, dan kembali memukul wajahnya.

"Sudah, El." Aku berusaha menahan tangan El.

"Letta, dia sudah bersikap kurang ajar."

Pria itu bangkit dan menatap kami dengan senyuman miring. Lalu membalas pukulannya mengenai wajah El.

"El, jangan pikir kamu ajudannya Danjou. Bisa seenaknya memukul saya. Saya berani bayar mahal dia!" ucapnya sambil menunjuk ke arahku.

Aku melihat wajah El memerah, tatapannya pun menyeringai. Aku masih memegangi tangannya agar ia tak melanjutkan perkelahian.

"Sudah, El. Aku nggak apa-apa. Ayo kita pulang saja." Aku mencoba menarik tangan El keluar ruangan.

Meski berat mengajaknya menghindari keributan. Namun, akhirnya aku bisa membawa El keluar, kami duduk di kursi teras depan. Kulihat makin malam, tamu yang datang semakin banyak.

"Wajah kamu luka, El. Kita pulang biar kuobati." Aku menyentuh pinggir bibirnya yang terluka.

El menatapku tak berkedip, aku menjadi salah tingkah. Terlebih tangan kananku yang mengusap bibirnya ia sentuh dengan lembut.

"Kamu yakin mau pulang?" tanyanya.

"Iya, El. Aku lelah."

"Okey, kita pulang."

.

Kami tiba di rumah kediaman El yang jaraknya memang tak jauh. Bi Minul yang melihat kedatangan kami langsung kuminta menyiapkan air hangat juga handuk untuk mengompres luka di wajah El.

El yang duduk di sofa ruang tamu pun memegangi ujung bibirnya itu. Aku hanya menatapnya dengan rasa kasihan, pasti sakit sekali.

"Lain kali jangan seperti tadi lagi, El. Itu bisa melukai diri kamu sendiri," kataku saat Bibi sudah datang dan meletakkan baskom berisi air hangat di meja.

Aku memeras handuk kecil di tangan, lalu mulai mengusap perlahan ke wajah El. Sesekali ia meringis menahan sakit.

"Mana bisa, Letta. Aku paling tidak bisa melihat laki-laki yang kurang ajar seperti tadi. Dia tahu kamu milikku, tapi dia nekad dekati kamu tanpa seizinku," kilahnya.

"Aku milikmu? Sejak kapan, El?"

"Sejka malam ini dan selamanya."

"Kamu yakin dengan yang kamu ucapkan ini? Aku ini wanita bekas bos kamu, El."

El tak menjawab, ia hanya tersenyum kecil lalu memegang tanganku yang berada di wajahnya. Kemudian ia bangkit berjalan ke arah kamarnya.

"Aku mau tidur, ngantuk! Makasih untuk malam ini, Letta. Tidurlah yang nyenyak. Besok pagi kuantar kamu kuliah."

Blam.

Pintu kamar El tertutup. Sementara aku masih terdiam di ruang tamu. Baru kali ini aku bertemu dengan pria sepertinya. Berbeda, ya, dia berbeda dengan pria lain di luar sana. Di mana mereka para pria beristri yang masih mencari kesenangan dengan wanita lain, sedangkan El? Ia justru mendekatiku yang jelas-jelas wanita bayaran bosnya.

"Non, mau saya rebuskan air hangat untuk mandi?" tanya Bi Minul yang baru saja datang menghampiriku.

Aku mengangguk pelan, "Boleh, Bi."

"Baik, Non."

Aku mengikuti langkah Bibi ke dapur. Ingin menanyakan sesuatu tentang El padanya.

"Bi, saya boleh tanya sesuatu?"

"Iya, Non?"

Wanita paruh baya itu sigap mengambil air ke dalam panci dan meletakkannya di atas kompot yang menyala. Kemudian menatapku.

"Tuan El punya kekasih?"

"Tuan El pernah punya kekasih, namanya Non Fahira. Sayangnya wanita itu lebih memilih bosnya karena uang."

"Maksud Bibi? Bos Danjou?" tanyaku penasaran.

"Iya. Sejak saat itu Tuan El tak pernah lagi terlihat membawa wanita. Entah ia trauma atau apa. Tapi, saya yakin sekarang Tuan El sudah kembali move on dengan adanya Non Letta." Bibi tersenyum.

Aku terdiam. Kalau El trauma, dia tak akan mau dengan wanita bekas bosnya. Dia juga tak akan mau mengajakku lagi ke sini, lalu apa benar dia menginginkanku?

"Tuan El tidak pernah mau berkomitmen dengan wanita, karena dia pikir semua wanita itu sama. Akan berpaling jika ada pria yang melebihinya. Mungkin Non Letta satu-satunya wanita yang beruntung, karena Tuan El mau menikahi Non." Bibi berbicara sambil mematikam kompor. Ia lalu membawa panci berisi air panas itu ke dalam kamar mandiku.

Aku mengekor, lalu Bibi keluar kamar dan menutup pintunya. Aku masih memikirkan ucapannya tadi. Apa benar aku wanita beruntung? Meski tahu kenyataannya kalau El belum resmi menikahiku.

Mengapa Bibi tidak curiga kalau kami belum menikah dan tidak tidur bersama?

Banyak teka-teki yang berada di benakku, mengenai siapa El dan apa yang akan dia lakukan padaku.

.

Sentuhan di pinggang membuatku geli, aku yang tidur miring pun lantas terkejut. Aku mendapati sebuah tangan yang melingkar di atas perut saat aku mencoba berbalik badan. Tepat di sebelahku El bersandar dan tersenyum kecil.

"Pagi," sapanya membelai lembut rambutku.

"Pa-pagi, El. Kenapa kamu di sini?" tanyaku gugup sambil melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam.

El berbaring dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Aku pun menjadi tak nyaman dan duduk.

"Bangun, El. Kamu mau apa?" tanyaku cemas.

El yang hanya mengenakan kaos singlet putih itu pun menyilangkan tangannya ke bawah kepala untuk penyangga. Debar jantungku berdegup cepat melihat tubuhnya yang ditumbuhi sedikit bulu di ketiak. Aku memalingkan wajah untuk tak berlama-lama menatapnya.

"Letta, pukul tujuh kita berangkat ke kampus. Kamu ada jadwal kuliah pukul delapan. Bisakah kamu berjanji padaku?"

Aku menoleh saat dia bangkit dan duduk di sebelahku. "Janji? Untuk apa?"

"Untuk tidak tertarik pada laki-laki mana pun di kampusmu nanti."

Aku tertawa kecil, "Aku bahkan nggak pernah memikirkan hal itu. Kamu tahu kan kenapa aku bisa ada di sini?"

Tiba-tiba saja El meraih wajahku, hingga kami saling bersitatap lama. Sampai wajah pria di depanku makin lama makin mendekat, hingga hidung kamu menempel.

Aku memejamkan mata saat El memiringkan wajah dan berhasil mengecup bibirku singkat. Entah mengapa aku tak bisa menghindar, aku juga tak bisa melawan. Aku seolah kembali terbius olehnya.

"Mandilah, lalu kita sarapan!" ujarnya seraya beringsut dari ranjang.

Kulihat celana pendek bagian depannya menggelembung. Astaga, apa yang aku pikirkan! El mampu menahan hasratnya. Sementara aku masih diam dan membatu, menggigit bibir yang masih terasa basah bekas kecupannya.

Tiba-tiba pintu kamarku kembali terbuka, kepala El menyembul dari balik pintu. "Letta, handphone di atas nakas itu untukmu. Hanya ada nomorku di sana," ucapnya menunjuk ke atas meja. Kemudian ia kembali menghilang di balik pintu.

Aku beringsut dari ranjang, mengambil ponsel yang di maksud. Ponsel yang kemarin sengaja kumatikan, kupikir ini milik El yang tertinggal. Ternyata ini untukku? Kamu baik, El.

Sambil mencoba menghidupkan kembali layar ponsel. Aku bersiap untuk mandi agar El tidak terlalu lama menunggu.

.

bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKU DIJUAL AYAHKU 500JUTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang