A/n: abis ini masih ada satu chapter epilog lagi!!
🍓
Jika ada satu hal yang Guanlin ketahui tentang Ayahnya adalah, pria itu merupakan seorang workaholic. Ayahnya itu begitu mencintai pekerjaannya, sampai-sampai Guanlin bahkan tak ingat kapan terakhir kalinya Ia melihat Ayahnya di rumah saat matahari di luar sana masih bersinar dengan terangnya.
Well, sebenarnya, saat ini matahari sudah mulai terbenam, diiringi dengan bias cahaya oranye yang terpantul melalui jendela ruang keluarga rumahnya—but his point still stands. Suho sama sekali tidak pernah berada di rumah sebelum matahari terbenam.
Guanlin seharusnya tidak segugup ini—Ia sudah tahu apa yang hendak dibicarakan Ayahnya itu. Jihoon dan segala spontanitasnya telah memberitahunya.
But there's just something about the silence lingering around their living room, his mom's confused stare, and his workaholic father, sitting right there with the bright orange sunlight, shining on his face.
"jadi" ujar Suho, akhirnya membuka suaranya yang nyaris membuat semua orang di ruangan itu berjengit kaget. "Sudah berapa lama kau berkencan dengan Jihoon?"
Dan seolah tidak suka dengan nada bicara suaminya itu, Irene menghela napasnya seraya mengusap bahu suaminya itu. "Sayang, jangan—"
"Ayah tanya, Guanlin" ujar Suho lagi, menyela perkataan istrinya itu. "sudah berapa lama kau berkencan dengan Jihoon?"
Guanlin menghela napasnya, sebelum akhirnya menjawab. "Dua tahun" ujarnya, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya. "Ah, aku sudah menyukai Jihoon terlebih dahulu jauh sebelum itu, but I was in denial"
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kenapa kau tidak mau langsung mengakui?" ujar Suho, dan meskipun nada bicara pria itu terdengar datar, namun Guanlin tahu pasti, Ayahnya itu menginginkan suatu jawaban tertentu darinya. "Oh, dan jika kau memang mencintai Jihoon, kenapa kau menutup-nutupi hubungan kalian untuk waktu yang... bisa dikatakan sangat lama?"
And that just felt like the biggest insult on Guanlin's wound—Suho-lah yang memukulnya, tidak memercayainya, tidak menganggapnya ada selama beberapa hari ini hanya karena Ia mencintai seseorang, dan setelah itu semua, pria itu masih merasa perlu untuk menanyakan mengapa? Bahkan mengharapkan sebuah jawaban tertentu darinya?
"Kenapa?" ulangnya dengan nada sarkastik yang begitu kentara dalam suaranya, sebelum akhirnya berdecih pelan. "Bukannya Ayah yang paling tahu jawabannya?"
Suho tidak menjawab, pria itu hanya menaikkan satu alis matanya, seolah menantang putranya itu untuk menjelaskan lebih jauh.
Oh and Guanlin gladly accepted that challenge.
"Aku takut" ujarnya pada akhirnya. "Aku baru berusia lima belas tahun saat aku menyadari bahwa aku menyukai sahabatku yang juga merupakan seorang lelaki—dan selama lima belas tahun hidupku, Ayah, tak seorangpun pernah mengajariku bahwa kau tak bisa memilih siapa yang kau cintai, dan bahwa cinta tak pernah salah. Selama lima belas tahun hidupku, seluruh dunia di sekelilingku menganggap bahwa—" Ia menggantungkan kalimatnya, napasnya tercekat saat memikirkan kelanjutan kalimatnya. "Bahwa... orang sepertiku pantas dicaci maki, dianggap abnormal, hina, bahkan sakit jiwa hanya karena aku jatuh cinta. Bahwa orang sepertiku tidak pantas mendapatkan hak asasi manusia dasar hanya karena aku jatuh cinta. Coba Ayah bayangkan, jika waktu itu aku langsung mengakui perasaanku, berkencan dengan Jihoon, lalu jujur pada Ayah dan Ibu, apa kalian akan langsung menerimaku?"
"Guanlin—"
"No, you won't" lirih Guanlin, menyela perkataan Ibunya. "Aku menunggu dua tahun untuk jujur padamu, Ayah kandungku sendiri mengenai preferensi seksualku, tapi apa? Akhirnya Ayah tetap memukul dan bahkan nyaris tidak menganggapku putramu lagi, kan? Apa yang akan terjadi jika dulu aku tidak menunggu sama sekali?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberries and Cigarettes
Fanfiction"I love you in spite of deep fears that the world would divide us, was it so hard to understand?" "No, but I'm not you. I can't just dance it off with you through this avalanche without that fear overpowering me" Dua tahun lalu, ketika telah berhasi...