Fuck it.
Jihoon sudah lelah menangis.
Jihoon sudah benar-benar tak peduli dan tak mau peduli lagi. Ia sudah lelah menghabiskan waktu beberapa jam terakhir menangisi segala praduganya mengenai apa yang Guanlin rasakan, dan mengapa pria itu meninggalkannya.
Well, kalau Guanlin tak lagi menginginkannya, then so be it. Jihoon jelas sekali masih menginginkan Guanlin.
Jihoon-lah yang pertama menyukai Guanlin terlebih dahulu, dan Jihoon pula-lah yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu. Jadi, tentu saja seharusnya Jihoon yang punya kuasa untuk menentukan kapan hubungan mereka akan berakhir, kan?
Setidaknya, itulah pemikiran yang tiba-tiba muncul di benaknya di tengah segala rasa sakit hati, putus asa, dan kekecewaannya.
Konyol sekali, bukan? Jihoon bahkan tak punya seseorang untuk diajak bicara dalam keadaan seperti ini. Seseorang yang akan mengerti dan tak akan menghakiminya jika Ia menceritakan kisahnya yang mencinta seorang putra Adam.
Pada akhirnya, hanya dirinya sendiri-lah yang mampu memberinya solusi. Kata hatinya yang mengatakan bahwa Ia harus berlari ke tempat dimana Guanlin berada, dan menunjukkan bahwa tak seorang pun boleh mengambil apa yang menjadi miliknya.
Bahwa Lai Guanlin miliknya.
Bahwa jika ada seseorang yang harus duduk diam di kamar dan menangis, itu bukan Jihoon.
Big boys don't cry, remember?
Jadi Ia menghubungi Bundanya, menanyakan di mana letak pesta pertunangan mantan kekasihnya itu, dan berlari sekuat tenaganya—secepat kedua kaki mungilnya dan Bugatti La Voirture Noire-nya membawanya.
Dan Jihoon tahu pasti risiko yang harus dihadapinya setelah ini. Ayah dan Bundanya mungkin akan membunuhnya. Ayah dan Ibu Guanlin mungkin akan menjauhkan putra mereka darinya. Semua teman-temannya pasti cepat atau lambat akan tahu mengenai kejadian hari ini. Tzuyu dan Orang Tuanya mungkin akan menganggapnya tak punya sopan santun sama sekali. Dan yang terburuk--
Guanlin bisa saja langsung menolak dan mendorongnya menjauh, menyatakan bahwa Ia kini tak lagi mencintainya, menolaknya di hadapan umum.
Namun Guanlin tidak melakukan itu. Bukannya menolak, pria itu justru menarik tubuh mungil Jihoon ke dalam rengkuhannya, memperdalam ciuman mereka sembari sesekali menyesap bibir milik mantan kekasihnya itu.
And all at once, everything felt right at that very moment.
Jihoon tahu, Guanlin pun masih menginginkannya.
Dan dengan fakta itu, hanya dengan fakta itu, Jihoon tak lagi peduli dengan segala risiko yang menantinya. Ia melingkarkan lengannya pada leher Guanlin saat pria itu sedikit menekan tengkuknya, seolah jarak mereka kini masih belum cukup dekat baginya.
Jihoon bisa mendengar semua orang terkesiap kaget melihat apa yang mereka lakukan saat ini.
Ia bahkan bisa mendengar suara gelas pecah--seolah seseorang tanpa sadar menjatuhkan gelasnya saking kagetnya.
Sekujur tubuhnya gemetar, menandakan rasa takut, cemas, dan kebahagiaan yang bercampur jadi satu dalam hatinya.
Bohong jika Jihoon bilang Ia tak lagi takut.
Bohong jika Jihoon bilang Ia tahu pasti bagaimana cara menjelaskan ini semua pada Ayah dan Bundanya.
Dan bohong pula jika Jihoon bilang Ia tak merasa bersalah sama sekali pada kedua orang tua Guanlin dan orang tua Tzuyu yang sudah susah payah menyewa ballroom hotel ini hanya untuk acara yang pada akhirnya dihancurkan olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberries and Cigarettes
Fanfiction"I love you in spite of deep fears that the world would divide us, was it so hard to understand?" "No, but I'm not you. I can't just dance it off with you through this avalanche without that fear overpowering me" Dua tahun lalu, ketika telah berhasi...