4. I've Been A Fool

458 76 36
                                    

A/n: tadinya aku ga mau ada pisah-pisahan lagi karena cerita ini aja udah pisahan dari oneshoot... tapi-- karena chapter ini udah PANJAAANGG BANGET, jadi aku bagi dua ya :(


Gossip menyebar dengan cepat di seluruh penjuru sekolah.

Entah bagaimana caranya, semua orang di sekolah kini mengetahui fakta bahwa Guanlin dan Jihoon berkencan.

Dan Guanlin tidak peduli. Ia memang tak pernah memiliki terlalu banyak teman, jadi tambahan bisikan dan tatapan dari orang-orang yang dulunya tidak peduli padanya sama sekali bukan apa-apa baginya.

He just simply couldn't give a fuck, especially knowing that he's got bigger problems to handle.

Namun Jihoon tidak bisa seperti itu. Hanya tinggal satu minggu menjelang ujian akhir, dan Jihoon malahan terus-menerus mencari alasan untuk tidak pergi ke sekolah—pagi ini Ia beralasan bahwa anemia-nya kambuh, dan Guanlin ingat sekali pria itu tidak memiliki riwayat penyakit anemia.

Jennie, tentu saja mengiyakan permintaan Jihoon itu, mengisyaratkan pada Guanlin bahwa Jihoon hanya butuh waktu untuk membiasakan dirinya, butuh waktu untuk menerima fakta bahwa bukan salahnya jika orang-orang berpikiran sempit mengenai orientasi seksualnya.

Dan karena itulah--Guanlin belum bisa memberitahu Jihoon mengenai hubungannya dan Ayahnya yang memburuk sejak kejadian itu.

Guanlin can't be selfish and let Jihoon blames himself even more now that he knows that even Jihoon, his boyfriend is already blaming himself enough for the downfall of their reputation.

Dan Jihoon memang ada benarnya. Beberapa anak memang hanya akan melirik sekilas ke arahnya dan berbisik, tapi tak sedikit pula yang terang-terangan menjauhinya, menatapnya dengan jijik, atau bahkan terang-terangan meneriakinya dengan kata-kata tak pantas karena mereka, dalam kata-kata mereka sendiri 'takut tertular homoseksualitas' Guanlin.

Sudah bodoh, lantang, salah pula. Guanlin makin tak mengerti mengapa kekasihnya itu—Jihoon, yang biasanya galak dan bisa saja membuat orang-orang bodoh itu terdiam dalam satu tarikan napas berisi ucapan-ucapan tajamnya, begitu peduli pada pendapat orang semacam itu.

Mengingat hubungannya dan Ayahnya yang belum juga membaik meskipun tiga hari telah berlalu, Guanlin bahkan tak bisa pura-pura peduli untuk sekadar memberi kepuasan pada orang-orang bodoh itu—atau membuat mereka tidak merasa sebodoh itu.

Setidaknya, sampai saat ini. Saat tiba-tiba kepala sekolah memanggilnya, dan menghadapkannya dengan seorang wanita paruh baya dengan riasan tebal dan rambut bersasak tinggi, duduk di sebelah Jung Sowon, salah satu anak yang meneriakinya dengan kata-kata tak pantas pagi ini, dan hanya dibalas Guanlin dengan memutar bola matanya malas.

Satu hal yang paling Ia takuti akhirnya terjadi—salah satu dari orang-orang bodoh itu mempunyai orang tua yang berpengaruh dan melapor pada kepala sekolah meskipun Guanlin tak punya salah apa-apa.

"Jadi begitulah yang aku takutkan, pak Kepala Sekolah" Ujar wanita itu. "Kau tahu kan, anak ini dan kekasihnya itu masih bebas berkeliaran ke dalam toilet laki-laki, ruang ganti laki-laki, dan bahkan bebas bersosialisasi—astaga, bagaimana kalau dia menyukai putraku yang tampan ini, oh atau bahkan lebih parah lagi, melecehkannya dan menularkan homoseksualitas padanya?"

Guanlin bahkan tak repot-repot menyembunyikan ekspresi jijiknya. Astaga, Guanlin lebih baik mencoba menyukai wanita daripada menaruh ketertarikan bentuk apapun kepada seorang Jung Sowon.

Masih mending kalau sifatnya saja yang jelek—masalahnya, wajah Sowon juga sama jeleknya seperti sifatnya. Dan Guanlin bukan tipe orang yang suka menghina fisik seseorang.

Strawberries and CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang