7. Porak Poranda

321 42 22
                                    

"Menjerit denyut nadi kala hasrat bersikeras ingin tahu perihal sesuatu yang tersembunyi.
Bungkam kau simpan dalam diam.
Ucap kau telan dalam-dalam.
Mengapa kau biarkan hening memangkas tandas percik interaksi kita berdua?
Mengikis habis rinai tawa di bawah lengkungan payung kala kali pertama kita bersua."

*****

Siang itu, sepeninggalan Joon Gi, Chae Won masih bergeming di tempatnya. Tanpa suara, ia menatap nanar hidangan yang tersaji di meja mulai mendingin tanpa sempat tercicipi. Sorot mata pria itu, lirih suaranya, juga helaan napas jengah sebelum ia melenggang pergi masih terbayang jelas di kepala. Berputar seperti rekaman pita film yang tak bisa ia hentikan sebelum durasinya usai.

Kristal bening di sudut matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Sesak merangsak memasuki rongga dada. Bergetar sudut bibirnya bersamaan dengan isak tangis yang tertahan. Sungguh ia kehabisan kata untuk menjawab rasa keingintahuan prianya akan siapa sosok Song Joong Ki.

Ia tak bisa bilang.

Persetan dengan alasan ataupun kebohongan yang bisa saja ia katakan untuk memungkas topik pembicaraan tentang si pengirim pesan singkat itu. Karena demi apapun ia tidak ingin menipu prianya. Kebohongan hanya akan menciptakan kebohongan lain. Karena itu Chae Won lebih memilih bungkam dan menolak membahas perihal siapa Song Joong Ki, dan apa hubungannya dengan pria itu.

Chae Won sadar, dengan selama ini ia bersama dengan Joon Gi tanpa pria itu tahu keadaannya saja sudah membuat Chae Won merasa berdosa. Sedari awal Chae Won sudah tahu, nekat memberanikan diri masuk ke dalam kehidupan seorang Lee Joon Gi adalah keserakahannya yang akan membuat luka di kemudian hari. Ia tak bisa menjanjikan bahagia untuk waktu yang lama. Ia tak bisa membuat sorot mata pria itu berbinar setiap saat.

Bukankah sudah Chae Won katakan dalam prolognya, jika sejak awal ia tidak akan pernah bisa menyamai langkah Joon Gi. Langkah pria itu jauh melaju, sementara langkahnya penuh jeda. Perputaran hidup mereka berbeda. Waktunya berjalan lambat, sementara Joon Gi sebaliknya.

Tapi Chae Won mencintai pria itu dengan terlalu.

Kanker darah stadium tiga. Penyakit bawaan genetik itu menggerogoti tubuhnya sejak satu setengah tahun terakhir. Penyakit yang sama yang telah membawa ibundanya pergi, betah bersarang di tubuh kurusnya kini.

Bukan Chae Won enggan mengobati, tapi jika ia harus mengorbankan hari-harinya demi menyiksa diri dengan kemoterapi—membiarkan punggung tangannya dilubangi jarum-jarum infus; mengonsumsi obat-obatan yang tak terhitung berapa butir setiap hari; membiarkan helai-perhelai rambut panjangnya terlepas dari akarnya lalu habis; membiarkan tenaganya terkuras habis menjelang masa akhir hidupnya—hanya untuk harapan tipis agar bisa hidup lebih lama padahal hasilnya nihil, untuk apa?

Ibunya telah menjadi bukti nyata.

Ia saksi hidup ibunya yang sudah berjuang dengan keras, tapi tetap kalah telak. Katakanlah Chae Won pesimis. Ia hanya tidak ingin menghabiskan sisa waktunya dengan menambah kesakitan. Sudah cukup ia disiksa dengan penyakitnya, tak perlu ditambah dengan pengobatan medis yang bisa membuatnya berbaring di ranjang rumah sakit setiap minggunya. Dan pertemuannya dengan Lee Joon Gi malam itu, membuat gelora hidupnya bangkit.

Maaf ia egois. Maaf jika pada akhirnya ia memilih pria itu untuk terluka kelak. Karena sebelum waktunya tiba, ia ingin merasakan bahagia. Meski sesaat, asal dengan Joon Gi, ia ingin mencoba. Satu hal yang akan ia janjikan pada dirinya sendiri dan pada pria itu, kala ia pergi, Joon Gi akan membencinya setengah mati. Pria itu akan lupa, siapa sosok Moon Chae Won yang pernah dengan lancangnya masuk ke dalam kehidupannya, memporak-porandakan hatinya.

SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang