"Kedap melahap habis semua suara, sementara bising hinggap di pikiran sendiri.
Sungguh, di rentang waktu yang menjauhkanku denganmu, jiwa ini dibelasah rindu.
Goyah telah meluluhlantakkan seluruh yakin yang kupercaya.
Risau akan kita."*****
Bak mozaik, setiap fase kehidupan ialah seumpama kepingan-kepingan kecil yang kemudian tersusun rapi menempati tempatnya masing-masing sesuai kehendak takdir. Senang, sedih, gagal, dan berhasil. Mulai, henti, datang, pergi, lalu kembali. Semua pasti mengalami.
Semesta sepertinya tidak sedang berada dalam mood yang baik. Ia sedang ingin bersikap lebih menguji insan yang hidup di dalamnya dengan konflik yang dicampur pelik. Dan kali ini, Moon Chae Won sasarannya. Semuanya dibuat rumit, apa-apa yang ada di dalam kehidupan wanita itu rasanya dipersulit.
Cuaca cukup cerah hari ini. Suhu udara juga berada di derajat normal, tidak terlalu terik. Hilir-mudik para pejalan kaki maupun keramaian kota di siang hari, tak membuat Chae Won turut menikmati suasana. Di sepanjang perjalanan, berkali-kali ia menghela napas panjang—sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.
Sampai langkah kaki membawa sang empunya raga tiba di pelataran kafe. Ia melangkah masuk seraya mendorong pintu kaca, bersamaan dengan terdengarnya bunyi denting lonceng yang sengaja diletakkan di atas pintu, sebagai pertanda datangnya pengunjung. Matanya mengitari semua sudut guna mencari letak tempat duduk yang sekiranya nyaman, sampai pandangannya tertuju pada satu titik.
Seolah objek di sekitarnya memburam, pandangan Chae Won hanya terfokus pada dua objek utama yang menarik perhatiannya: Pria bermata elang yang ia kenali tatapannya seteduh langit sore, tengah membantu seorang wanita berwajah seelok purnama, dengan mengikatkan jas di pinggangnya karena rok yang ia kenakan terkena cairan kopi panas. Chae Won melihat kejadian itu di ambang pintu, pandangannya tak lepas dari pria yang selama ini selalu berhasil memantik rindu. Sampai pandangannya bersirobok dengan netra teduh milik pria itu.
Lee Joon Gi.
Chae Won cukup terkejut menyadari kini Joon Gi tengah menatapnya, menyadari kehadirannya di tempat ini. Ia gelagapan, matanya bergerak cepat ke seluruh penjuru guna menghindari tatapan pria itu, sebelum akhirnya ia memutar langkah dan berbalik pergi. Tidak, ia belum siap bertemu Joon Gi sekarang. Ia belum menemukan penjelasan yang tepat terkait masalah mereka. Meskipun saat ini, sumpah demi Tuhan ia ingin sekali bertanya pada Joon Gi tentang siapa perempuan yang sedang bersamanya itu.
"Moon Chae Won!!!"
Terdengar Joon Gi memanggil namanya. Namun sengaja Chae Won hiraukan dan lebih memilih mempercepat langkah. Ia tahu jika pria itu pasti akan mengejarnya, tetapi ia sedang tidak ingin berdebat sekarang. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya.
Chae Won tidak ingin mengakui jika ia cemburu, tapi katakanlah ia memang begitu.
Perasaan tidak rela melihat prianya bersama wanita lain, membuat air mata telah menganaksungai di pipinya tanpa ia sadari. Melihat Joon Gi bersikap lembut dan peduli pada wanita lain rasanya seperti ia sedang dipaksa dan diingatkan oleh semesta, bahwa gambaran seperti itulah yang akan ia lihat kelak. Dimana posisi di samping pria itu tidaklah ditempati olehnya, tapi oleh orang lain. Kilas balik pertemuan kali pertamanya dengan Joon Gi terlintas di kepala. Bagaimana pria itu dengan sigapnya menyampirkan jas dipundaknya, berbagi payung, berbalas kata sampai tiba dimana roda bus, dan langkah kaki menjadi pemisah diri.
Dengan tergesa, Chae Won memasuki taksi yang ia berhentikan. Bersamaan dengan pintu yang ditutup, langkah Joon Gi tiba di hadapannya. Pria itu mencoba membuka pintu, namun terkunci. Tak henti pria itu mengetuk kaca taksi yang tertutup, meminta agar dibuka. Agar Chae Won mau diajak bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow
RandomChae Won meninggalkan Joon Gi sendirian, di hari pernikahan mereka. Ia menghilang tanpa jejak, tanpa penjelasan. Kekecewaan Joon Gi meranggas sampai ke ubun-ubun. Ia marah, sangat. Joon Gi bersumpah jika Chae Won kembali, maka ia akan mati di tangan...