"Di antara rintik hujan yang menjatuhkan diri ke peluk bumi, di bawah lengkungan payung yang memberi teduh, rinai tawamu kujumpai."
*****
Mendung masih betah mengungkung langit dengan kelamnya. Sedari tadi, hujan masih belum berhenti. Jalanan basah, atap-atap bangunan tak berhenti menitikkan air, pun kaca-kaca jendela rabun berembun. Para pejalan kaki berarak dengan payung-payungnya, sebagian orang ada yang memilih singgah ke kafe atau berdiam diri di depan-depan toko juga mini market untuk berteduh.
Uap-uap hangat mengepul dari cangkir-cangkir kopi dan teh. Aroma ayam bawang tercium dari semangkuk ramyeon. Pun asap tembakau dihembuskan oleh pria-pria setengah baya yang merokok di halte seraya menunggu hujan reda.—Fenomena ladzim yang terlihat saat cuaca sedang hujan.
Seorang wanita dengan rambut panjang kecoklatan tak henti-hentinya melihat jam di tangan. Ini sudah cangkir ketiga ia menghabiskan cokelat panas di kafe yang sedang ia singgahi selepas ia menyetujui janji temu dengan seseorang. Sebuah kencan buta sudah diatur oleh temannya. Namun seseorang yang seharusnya jadi teman kencannya hari ini malah tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Itu artinya, sudah tiga jam berlalu ia habiskan dengan menunggu di tempat ini, dan hujan masih belum berhenti.
Hujan masih deras di luar. Mau berapa lama lagi ia menunggu, sementara tidak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti. Untuk menemukan taksi ia harus berjalan ke persimpangan, dan untuk sampai di halte ia harus menyebrang jalan. Sedikit hujan-hujanan ia rasa tidak papa daripada menghabiskan waktunya di kafe lebih lama lagi.
Ya. Ia berniat pergi.
Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan memilih beranjak dari kursinya. Begitu langkahnya sampai di depan pintu kafe, ia berpapasan dengan seorang pria yang baru saja datang dan tengah meletakkan payungnya di kotak yang disediakan tepat di sudut pintu. Tanpa menghiraukan, ia langsung saja melewatinya.
"Permisi!" Suara pria tadi terdengar memanggil.
"Moon Chae Won?" Panggil pria itu lagi. Kali ini, dengan ragu ia menyerukan sebuah nama.
Merasa dipanggil namanya, wanita yang berpapasan dengannya barusan berhenti di ambang pintu dan menoleh.
"Kau baru saja memanggilku?" Tanya wanita itu memastikan.
"Apa kau mengenalku?" Merasa tidak kenal dengan pria yang barusan memanggil namanya, ia bertanya sekali lagi.
"Ah. Lee Joon Gi." Pria itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.
Wanita bernama Moon Chae Won itu menyambut uluran tangannya ragu.
"Kencan buta. Aku yang punya janji temu denganmu. Maaf aku sangat terlambat kan?" Jelas pria itu seraya bertanya memastikan.
Oh... Pria yang baru saja datang ke kafe itu ternyata pria yang harusnya "berkencan" dengan wanita itu di kafe ini.—Jika saja ia tak terlambat.
"Ya. Kau sangat terlambat. Dan aku sudah mau pulang." Chae Won, ya wanita itu menjawab dengan sedikit dongkol lebih tepatnya.
"Aku minta maaf. Mobilku mogok di tengah jalan dan hujan deras sekali. Kau tahu, aku sudah mencoba memanggil orang bengkel tapi ya, hujan membuat mereka lambat sampai. Apapun itu, maaf sudah membuatmu menunggu... lama." Joon Gi menjelaskan alasan yang membuat ia datang terlambat pada "teman kencannya" dengan gugup.
Ya, tentu alasan apapun tetap saja tidak akan mengubah kenyataan kalau ia datang terlambat, bahkan sangat terlambat.
"Ya, aku mengerti. Tidak papa. Aku sudah mau pulang, permisi." Enggan memperpanjang masalah yang sekiranya sepele dengan berdebat, Chae Won pamit undur diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorrow
RandomChae Won meninggalkan Joon Gi sendirian, di hari pernikahan mereka. Ia menghilang tanpa jejak, tanpa penjelasan. Kekecewaan Joon Gi meranggas sampai ke ubun-ubun. Ia marah, sangat. Joon Gi bersumpah jika Chae Won kembali, maka ia akan mati di tangan...