Langit Mendung #2

16 1 0
                                    

Waktunya pelajaran matematika. Pelajaran favoritku. Hari ini Mikami-sensei menjelaskan persamaan kuadrat disertai dengan contohnya. Aku menyimak penjelasannya sambil memperhatikan contoh yang tertulis di papan tulis.

Usai menerangkan, Mikami-sensei meminta para siswa untuk mengerjakan sejumlah soal. Dengan semangat, aku pun melibas soal-soal itu. Dari belakangku, lirih terdengar keluhan Satsuki.

Sebelum jam pelajaran berakhir, tiba-tiba saja Mikami-sensei memanggilku.

"Mizushima-san!"

Aku mendongak dari buku kerjaku. "Hai."

"Tolong kumpulkan tugas matematika hari ini di meja saya!"

"Hai." sahutku.

Tidak lama kemudian, bel tanda pelajaran usai pun berbunyi. Aku segera ke depan kelas dan meminta teman-teman supaya mengumpulkan pekerjaan matematikanya. Satu per satu, mereka maju dan menyerahkan bukunya kepadaku.

Setelah semua tugas terkumpul, aku berjalan ke ruang guru dan langsung menuju meja Mikami-sensei.

Ternyata guru matematika sekaligus wali kelasku itu sedang tidak ada di ruang guru. Kalau begitu, sebaiknya buku-buku ini kutaruh di mejanya saja.

Aku baru saja menaruh buku-buku itu dan hendak berbalik ketika mataku tertumbuk pada sosok yang sepertinya kukenal. Selama beberapa waktu, aku hanya mampu berdiri diam di meja Mikami-sensei, memandangi seseorang yang tampaknya pernah kutemui sebelumnya. Saat aku masih mengingat-ingat, tiba-tiba saja sosok itu menoleh ke arahku. Refleks, aku pun berbalik dan berjongkok di balik meja Mikami-sensei.

Ya, aku ingat sekarang. Sosok yang baru saja kulihat itu tidak lain adalah laki-laki yang pernah kulihat di depan swalayan yang menjual takoyaki, sedang membaca buku serial detektif sembari menunggu hujan reda. Dia juga laki-laki yang sama yang berdiri di depan sebuah rumah berpagar hijau di bawah siraman hujan. Sulit dipercaya! Ternyata dia adalah siswa SMA Amayadori juga, tempatku bersekolah.

"Mizushima-san, apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Aku benar-benar terkejut mendengar suara itu sehingga aku langsung berdiri dan ....

JDUK!

Kepalaku membentur meja kerja Mikami-sensei dengan cukup keras.

"Uh!" aku mengaduh.

"Daijoubu?" tanya Mikami-sensei.

"Ha, hai ...." sahutku gugup.

Sembari berpegangan pada meja Mikami-sensei, aku mencoba menahan tubuhku yang masih agak limbung.

"Jadi, apa yang kau lakukan di sini, Mizushima-san?" Mikami-sensei mengulang pertanyaannya.

"Ng, itu, soal itu, maafkan saya .... Saya mengumpulkan tugas matematika hari ini, tetapi saya menjatuhkan sesuatu. Jadi, saya mengambilnya tadi ...." kataku beralasan.

Dari balik kacamatanya, Mikami-sensei memandangiku lekat-lekat, seperti ingin memastikan kejujuranku. "Sou ka (begitu, ya)?"

"Hai, sou desu (iya, begitulah)." jawabku pelan tanpa berani menatap Mikami-sensei langsung.

"Apakah kau masih ada keperluan lain di sini?" Mikami-sensei bertanya lagi.

"Iie (tidak)." aku menggeleng. "De wa, shitsurei shimasu (kalau begitu, saya permisi)."

Saat berjalan keluar, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah meja tempat siswa tadi berada. Ternyata sudah hilang! Mungkin dia sudah keluar. Sebenarnya aku tidak ingin tahu, tapi batinku mau tidak mau tetap terusik. Siapa dia?

Waktu aku kembali ke kelas, Satsuki dan Mai sudah siap di bangkunya untuk menyantap bekal makan siang. Aku pun segera bergabung bersama mereka.

"Akhirnya aku tahu siapa Kurosawa-sama." Satsuki memulai pembicaraan.

"Bukankah Mai-chan bilang bahwa dia senior di klub karate?" tanyaku sembari membuka kotak bekalku.

"Sono toori (itu benar)! Nah, karena aku ikut klub karate, maka aku bisa melihat langsung sosok Kurosawa Ryuu-sama itu," sahut Satsuki semangat.

"Lalu?" Mai bertanya sambil lalu.

"Rasanya sekarang aku mulai mengerti kenapa para siswa itu mengidolakannya. Dia cukup pintar, wajahnya lumayan tampan juga, dan yang pasti, dia menguasai bela diri karate. Walaupun gadis-gadis itu lebih menyukai Toyama-sama karena katanya dia sangat ramah dan lebih lembut, aku lebih memilih Kurosawa-sama. Memang dia terlihat arogan, kasar, dan sepertinya keras kepala, tapi aku menyukainya."

Aku hanya bisa melongo usai mendengar penuturan panjang Satsuki. Aku pikir di kelasku ini, bahkan mungkin di sekolah ini, tinggal kami bertiga yang normal, tidak terjangkit virus Toyama-sama dan Kurosawa-sama. Tetapi, tampaknya kini Satsuki pun telah mulai terhipnotis oleh pesona serta daya tarik Kurosawa-sama.

Satsuki cepat-cepat menambahkan. "Tapi, ini bukan perasaan suka seperti yang kalian pikirkan. Aku hanya mengaguminya dan terinspirasi oleh pribadinya yang menarik. Satu lagi, kemampuan karatenya juga hebat sekali. Kalian tahu ...."

Selama acara makan siang itu, Satsuki masih terus mengoceh tentang Kurosawa-sama. Aku dan Mai hanya bisa mendengarkan sambil sesekali menanggapinya dengan gumaman atau anggukan kepala. Saat ini Satsuki benar-benar berada dalam keadaan yang penuh semangat.

***

Ame no Uta (Rain Song)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang