Hujan Mulai Turun

60 6 4
                                    

"Hikari, aku mencintaimu."

Mataku terbuka dengan terkejut. Refleks, aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Walaupun keadaan masih gelap, aku tahu sedang berada di kamarku. Aku pun tersadar, rupanya aku baru saja bermimpi.

Aku meraih handphone di atas meja di samping tempat tidurku. Hmm ... pukul 01.00 dini hari. Terdengar suara hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Sebelum aku tertidur tadi, hujan memang mulai turun. Tak kusangka, hujan masih turun hingga kini. Suara air yang tercurah dari langit tersebut seperti menampar-nampar disertai dengan angin kencang.

Aku menarik selimut lebih ke atas lagi. Tangan kananku lalu menyilang di dahi. Mataku terpejam.

Pernyataan cinta, huh?

Kembali aku membuka mata dan bangkit dari posisi tidurku. Aku lalu duduk memeluk lutut, merenungi mimpiku barusan. Mungkin, itu bukanlah mimpi yang perlu direnungi. Tetapi, yang membuatku memikirkannya ialah karena mimpi tersebut bukan sekadar mimpi. Mimpi itu adalah kenanganku sendiri. Sebuah momen yang baru saja kualami dan hadir kembali dalam tidurku. Aku jadi bingung apakah aku baru saja bermimpi atau aku hanya mengingat peristiwa yang pernah terjadi pada diriku.

Aku menghela napas dalam-dalam. Kuusapkan kedua tangan ke wajah, lalu kuletakkan dagu di atas lutut.

Ya, beberapa hari yang lalu salah seorang dari masa laluku tiba-tiba hadir di rumahku. Dia sedikit banyak mengingatkanku pada berbagai peristiwa waktu di SMA dulu. Lalu, puncaknya adalah kemarin. Tanpa diduga dia berkata, "Hikari, aku mencintaimu."

Itu pertama kalinya aku mendapatkan pernyataan cinta dan karena itu, aku tak tahu harus berbuat apa. Lalu kini pernyataan cinta itu menghantui tidurku dengan hadir melalui mimpiku.

Tiba-tiba saja kilat menyambar, menimbulkan cahaya terang sejenak dalam kamarku yang gelap, disusul dengan bunyi guntur yang menggelegar. Aku memeluk lutut lebih erat. Hatiku sakit. Gemuruh suara hujan terasa semakin mengiris batinku.

Hujan ....

Hujan selalu mengingatkanku pada seseorang. Titik-titik air yang berjatuhan itu seolah memainkan irama yang menyedihkan, melodi sendu yang membuka kembali luka lama. Membongkar setiap kenangan serta kepingan-kepingan memori yang terserak, yang selama ini kucoba untuk menguburnya dalam-dalam dan menutupnya rapat-rapat.

Namun hujan, siapakah yang dapat menolaknya? Siapa yang sanggup menghalangi curahan air itu ke bumi? Tak seorang pun. Tidak pula aku.

Sekali lagi cahaya kilat menyelinap ke dalam kamar, diikuti dengan suara yang dahsyat hingga menerjang gendang telinga, mengguncang jiwaku yang goyah.

Ah, petir ....

Dia pernah mengatakan bahwa tak ada yang perlu ditakutkan mengenai petir. Tetapi bagiku, tetap saja petir itu menimbulkan ketakutan tersendiri.

Logika yang jernih menyatakan bahwa petir itu sama sekali tidak menakutkan. Namun, hati yang rapuh, yang telah beberapa kali merasakan pedihnya kehilangan, tidak bisa tidak mengalami ketakutan di kala hujan lebat disertai petir menerpa.

Mereka menyebutnya astraphobia atau brontophobia ....

Maka, aku pun hanya bisa merintih. Tersedu perlahan ketika luka itu terasa begitu menusuk. Sedikit pemahaman yang pernah kuperoleh cukup membantuku untuk pulih, sembuh dari luka. Namun, kepedihan itu masih ada, belum juga sirna.

Kemudian, pertemuan dengan seseorang dari masa laluku itu mau tidak mau mengantar anganku pada masa-masa beberapa tahun silam ....

***

Ame no Uta (Rain Song)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang