Akhirnya selesai juga pelajaran bahasa Inggris Mifune Satoru-sensei. Tibalah jam istirahat.
"Ah, lega sekali rasanya!" seru Satsuki. "Mifune-sensei memang selalu membuatku tegang. Apalagi, kalau sudah meminta siswa untuk menerjemahkan secara langsung."
Aku tersenyum saja mendengarnya. Kalau aku sendiri justru sangat menyukai bahasa Inggris.
Jam istirahat siang kali ini, seperti biasanya, aku, Satsuki, dan Mai menyantap bekal makan siang kami. Kami makan di kelas dengan menata tempat duduk kami saling berhadapan. Sembari menikmati makanan, kami berbicara mengenai berbagai hal.
Di tengah acara makan itu, tiba-tiba ....
"Permisi ...." terdengar satu suara lembut.
Kami bertiga menoleh.
"Apakah aku boleh bergabung dengan kalian?" lanjut pemilik suara itu.
"Tidak boleh!" jawab Satsuki ketus.
Aku langsung menyepak kakinya dari bawah meja.
"Memangnya kenapa? Bukankah dia dengan teman-temannya selalu mengejek kita? Kenapa sekarang dia berbalik kepada kita setelah ditinggal oleh teman-temannya itu?" lanjut Satsuki tajam dan terus terang.
Dalam hati aku membenarkan perkataan Satsuki. Tapi, Yuna itu berbeda dengan Mieko atau Tsukasa. Memang Yuna sering bersama mereka, tetapi Yuna tidak pernah mengejek. Dia bahkan berusaha membaur dengan teman-teman sekelas. Hanya saat ada Mieko dan Tsukasa, sepertinya Yuna tidak berani menyapa kami. Mungkin dia takut mereka membencinya atau meninggalkannya, sementara dua anak itulah yang telah menjadi temannya selama ini.
Lagi pula, sekarang ini Yuna sedang ada masalah. Jadi, tidak seharusnya kami memperlakukannya dengan kasar.
"Maaf, karena sudah mengganggu kalian ...." ucap Yuna pelan dan hendak berbalik meninggalkan kami.
Aku pun buru-buru menyela, "Eh, tunggu dulu, Saegusa-san! Kalau mau, kau boleh bergabung bersama kami."
"Hikari ...!" desis Satsuki ke arahku.
"Hontou ni? Arigatou (Benarkah? Terima kasih) ...."
Yuna kemudian duduk di sebelahku, berhadapan dengan Mai, sedangkan Satsuki yang duduk di sebelah Mai tepat berhadapan denganku. Untuk sesaat, kami berempat terdiam. Obrolan yang tadinya berlangsung dengan cukup seru antara aku, Satsuki, dan Mai jadi terhenti oleh kehadiran Yuna. Sebenarnya, aku sempat merasa bersalah juga karena sudah mengajak Yuna bergabung bersama kami. Namun, aku tidak tega melihatnya sendiri, tanpa teman. Apalagi, saat ini dia sedang ditimpa musibah.
Ah, aku jadi serbasalah.
"Wah, bekalmu kelihatannya enak," komentarku begitu Yuna membuka kotak bekalnya.
Yuna tersenyum. "Okaasan (ibu) yang menyiapkannya."
"Ah, aku jadi iri ...." ungkapku jujur.
Ibuku sudah tiada. Seandainya ibu masih ada, tentu ibu akan menyiapkan bekal makan siangku juga.
"Mizushima-san, kalau kau mau, ambil saja yang kau sukai," tawar Yuna masih sambil tersenyum.
"Boleh?" tanyaku memastikan.
Yuna mengangguk.
"Yano-san, Tomochika-san, kalian juga boleh mengambil yang kalian suka. Aku membawa banyak." Yuna menawarkan kepada kedua temanku juga.
"Tidak perlu!" sahut Mai dingin.
Sementara itu, Satsuki memalingkan muka.
Huh ...! Aku pun hanya mampu mengeluh dalam hati melihat kelakuan dua anak itu.
Aku tak dapat berbuat banyak. Aku tidak bisa menyalahkan Satsuki dan Mai jika mereka bersikap begitu. Mereka pasti kesal sekali dengan sikap Mieko dan Tsukasa selama ini yang sering mengolok-olok kami serta para siswa lain yang menurut mereka berasal dari kalangan miskin. Karena Yuna sering bersama Mieko dan Tsukasa, meski tidak ikut-ikutan mengejek, maka Yuna pun tidak disukai oleh Satsuki dan Mai.
Makan siang itu akhirnya berlanjut dalam diam. Hingga bel masuk berbunyi, tidak satu pun dari kami yang mencoba untuk berbicara.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ame no Uta (Rain Song)
SpiritualAtas permintaan neneknya, Hikari terpaksa tinggal di rumah keluarga Nonomiya di Tokyo. Di sanalah dia bertemu dengan Kurosawa Ryuu, kakak kelasnya di SMA. Pertemuan mereka sering terjadi di bawah hujan. Suatu hari, teman sekelas Hikari ditemukan ter...