Menjalani hari-hari sebagai siswa SMA dapat dikatakan membingungkan. Kenapa membingungkan? Ya, sebab, kadang menyenangkan, kadang juga menyebalkan, dan tidak jarang sangat membosankan. Hari-hari yang sama dengan rutinitas serupa. Bangun pagi-pagi, sarapan bersama, berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, kemudian sampailah di sekolah, dan aktivitas rutin yang monoton itu pun kembali terulang.
"Ohayou (selamat pagi)!" sapa seseorang dari belakangku.
Aku menoleh. Ternyata itu Satsuki.
"Ohayou ...." balasku malas.
Aku melepas sepatu dan meletakkannya di loker, kemudian menggantinya dengan uwabaki. Uwabaki merupakan sepatu yang khusus untuk dipakai di lingkungan sekolah.
"Kau kelihatan tidak bersemangat," komentar Satsuki.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
"Daijoubu (kau baik-baik saja)? Kau agak pucat," ujarnya lagi.
Lagi-lagi aku tersenyum. "Hanya sedikit flu."
Satsuki mengangguk-angguk.
"Ha, hatsyiii ...!" aku bersin tanpa bisa ditahan.
Satsuki mengawasiku sambil berkacak pinggang.
"Hei, apa tidak sebaiknya kalau kau pulang saja?"
Aku menggeleng. Satsuki hanya mengangkat bahu. Kami pun lalu berjalan bersama ke kelas.
Ya, wajar saja kalau aku terlihat tidak bersemangat. Tubuhku masih lemas rasanya usai kehujanan tadi malam. Apalagi, setelah itu hampir semalaman aku menangis hingga akhirnya tertidur. Dapat dipastikan pagi ini wajahku pucat dan aku terserang flu. Syukurlah tidak disertai dengan demam.
Saat sarapan tadi Karin-san sempat heboh melihat kondisiku. Paman Naoki bahkan menawarkan untuk memeriksaku. Nenek mengusulkan agar aku izin tidak masuk sekolah dulu. Tentu saja aku menolak semua tawaran itu. Untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut, aku buru-buru menyelesaikan sarapan dan segera berangkat sekolah lebih dulu, tidak bersama Karin-san dan Rui.
Sesampainya di kelas, aku melihat Mai yang ternyata sudah datang. Ya, Mai memang termasuk siswa yang paling rajin. Rajin datang pagi, rajin mencatat pelajaran, rajin belajar, dan rajin yang lainnya. Hobinya membaca. Dia suka membaca apa saja. Berbagai macam buku mulai dari shoujo manga (komik perempuan) sampai buku pelajaran yang tebal-tebal itu dibacanya juga. Dia benar-benar kutu buku. Mungkin karena hobinya tersebut, katanya Mai sudah memakai kacamata sejak SD. Rambutnya sebahu dan selalu dikepang dua.
"Ohayou!" sapaku dan Satsuki bergantian kepada Mai.
"Ohayou!" balas Mai sembari mengangkat kepalanya sebentar dari buku yang ditekurinya dari tadi, kemudian kembali meneliti baris demi baris kalimat di buku itu.
Aku dan Satsuki hanya berpandangan. Satsuki mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku menganggukkan kepala sedikit. Lalu bersamaan, kami pun mengagetkan Mai, membuatnya harus mengelus-elus dada. Kacamatanya sampai sedikit miring.
Aku tertawa melihat reaksi Mai. Satsuki bahkan terbahak-bahak.
"Kalian benar-benar ...!"
Mai berdiri dan langsung memburu aku dan Satsuki. Dia lalu menggelitiki aku dan Satsuki bergantian. Selama beberapa saat, kami membuat keributan di pagi yang tenang.
"Urusai (berisik)!" seru satu suara.
Kami bertiga serentak menoleh ke arah yang sama. Kami pun berhenti saling menggelitik. Ternyata itu Kinoshita Mieko. Dia salah satu siswa terkaya di sekolah ini. Gayanya sok berkuasa. Di belakangnya tampak Kawamoto Tsukasa. Dia termasuk siswa paling kaya juga di sini. Sebagai dua siswa terkaya, mereka selalu kompak dalam mengejek teman-teman yang lain.
Satsuki hendak membalas Mieko, tetapi aku memberi isyarat untuk diam saja. Syukurlah, Satsuki menurut. Mai pun kembali ke tempat duduknya dan membetulkan letak kacamatanya, lalu melanjutkan aktivitasnya membaca buku. Aku sendiri duduk di kursiku di belakang Mai, sementara Satsuki duduk di bangku belakangku.
Oh, iya. Sebenarnya masih ada dua siswa lagi yang termasuk kelompok siswa terkaya tersebut. Mereka adalah Saegusa Yuna dan Ishida Ken. Ini dia baru datang. Tempat duduk Yuna tepat di sebelah kananku.
"Oha ...." Yuna tampak hendak menyapaku, tapi kata-katanya terputus.
"Aku kasihan sekali kepada Yuna-chan. Dia harus duduk di dekat anak-anak miskin itu." Suara Mieko cukup keras. Itulah yang membuat sapaan Yuna terhenti di tengah jalan.
Aku melihat Yuna sebenarnya tidak sombong seperti Mieko dan Tsukasa. Sikapnya ramah kepada semua teman sekelas. Tapi, mungkin karena dia sudah berteman dengan Mieko dan Tsukasa sejak dulu sehingga dia mengikuti mereka saja. Yuna anak yang pendiam serta tutur katanya sangat pelan dan halus, juga lembut.
Yuna pun lalu bergabung bersama Mieko, Tsukasa, dan Ken. Mieko dan Tsukasa begitu bersemangat membicarakan berbagai hal, sementara Yuna tampak sebagai pendengar setia. Sesekali dia tersenyum tipis. Sementara Ken? Dia itu termasuk tipe cuek yang tidak peduli dengan obrolan Mieko dan Tsukasa. Dia sibuk mengutak-atik gadget-nya, seperti asyik dengan dunianya sendiri.
Mungkin karena bosan, Tsukasa lalu mengajak Ken keluar. Mieko kemudian bercerita dengan Yuna.
"Yuna-chan, kau mau ikut klub apa?" tanya Mieko.
"Ehm ... aku berencana untuk ikut klub musik, seperti waktu SMP. Mieko-chan sendiri bagaimana? Apakah Mieko-chan akan melanjutkan ke klub musik?"
"Entahlah, kurasa aku akan ikut klub basket. Di klub itu ada Toyama Makoto-sama. Atau aku harus ikut karate? Di sana ada Kurosawa Ryuu-sama. Tapi, mereka bilang, Toyama-sama sangat ramah, sedangkan Kurosawa-sama itu kasar dan aneh. Lagi pula, aku, kan, tidak bisa karate. Kalau basket, kemampuanku masih lumayan. Jadi, mungkin lebih baik kalau aku ikut basket saja, ya? Bagaimana menurutmu, Yuna-chan?" Mieko terus mengoceh.
Aku mendengarkan pembicaraan mereka sembari bertopang dagu. Lagi-lagi Toyama dan Kurosawa. Siapa mereka? Ngomong-ngomong, aku sendiri sebaiknya ikut klub apa, ya?
Bel masuk berbunyi, memecah pikiranku tentang Toyama dan Kurosawa, juga pilihan klub sekolah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ame no Uta (Rain Song)
SpiritualAtas permintaan neneknya, Hikari terpaksa tinggal di rumah keluarga Nonomiya di Tokyo. Di sanalah dia bertemu dengan Kurosawa Ryuu, kakak kelasnya di SMA. Pertemuan mereka sering terjadi di bawah hujan. Suatu hari, teman sekelas Hikari ditemukan ter...