16.

57 11 1
                                    

Lampu gemerlap terang dihamparan kegelapan langit, sayup sayup angin malam menggoncang gorden kamar dengan kencang. Duduk di sofa tepi jendela hotel, Jennie tengah memijat-mijat keningnya setelah dibuat pusing oleh kejadian yang tak terduga ditempat kerjanya beberapa jam lalu.

"Kamu yakin bisa merawatnya sendirian? Aku berinisiatif untuk bawa dia ke Rumah sakit"

Minhyun yang saat ini terlelap tak berdaya diatas kasur menimbulkan banyak kekhawatiran begitu kekalahan berpihak padanya atas pertarungan sore tadi. Tak ada yang memungut Minhyun, dia terkapar lemah dengan sekian lebam yang muncul disetiap sisi sudut wajahnya.

"Merepotkan, aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya jika ayah Klan mengetahui ini. Biarkan dia disini, lagi lukanya sudah diobati bukan?"

Manager nya itu hanya mengangguk sembari meratapi pria yang tertidur dihadapannya. "Apa yang akan kamu lakukan padanya jika dia sudah sadar?"

"Katakan seadanya, tidak mungkin aku meninggalkannya dijalanan"

"Kehidupan asmara mu sungguh berat Jenn"

Jennie mengedikkan bahu, ia berjalan ke arah kulkas yang berada diruangannya. Satu botol air berhasil diteguk, ia rasa situasi sebelumnya benar-benar menguras tenaga. Entah apa yang harus ia hadapi kedepannya terkait perjodohan itu, dan fakta yang ia benci Minhyun sudah mengetahuinya tanpa ia kira.

"Aku harap kalian tidak bertengkar nantinya. Singkirkan gengsi mu, lebih baik kembali bersama dari pada menderita sendirian"

"Ck, dia yang meninggalkanku. Sudah pulang lah, nanti aku kabari"

"Oke" lalu pergi hendak mengambil tas yang berada diatas meja, "Rawat Dokter Minhyun dengan baik"

Sang Manager tak lagi terlihat, Jennie kembali dibuat jengah. Apalagi yang harus diperdebatkan dengan kenyataan? Semua sudah berjalan bertolak belakang sebelumnya, Jennie sedang mengikuti alurnya sekarang. Tapi lagi, kini dunia seolah enggan membuat dirinya tenang barang sedetik saja. Selalu ada kata 'mengapa' tiap kali persoalan datang.


"Akhh.." suara erangan seakan menahan sakit, pria yang sebelumnya sempat tertidur kini bangkit dari tempat tidur. "Dimana ini?"

Dan Jennie yang mendengar rancauan dari dalam kamarnya ia beranjak untuk melihat apa yang Minhyun lakukan.

"Kamu berada di apartement ku dan lukanya sudah diobati. Apa masih sakit?"

Minhyun meringis, ia tengah merasakan lebam yang dibalut perban dipelipis kirinya. "Ini menyakitkan"

"Kenapa?" seolah tak mendengar apa yang dikatakan Minhyun barusan.

"Kenapa kamu membawaku kesini?"

"Lalu siapa yang akan menolongmu? Aku tidak tau dimana tempat tinggal mu, jadi mau tak mau aku harus membawamu"

Senyum tipis terukir diwajah Minhyun, "Terimakasih"

Langit diluar mungkin sudah semakin menggelap, jam dinding yang berputar tengah menunjuk angka 10, sudah hampir memakan banyak waktu semenjak Minhyun terkapar habis dipukul. Dan saat ini Jennie masih mencoba memahami situasi atas keberadaan Minhyun di apartementnya.

"Mobil dan juga barang-barang mu ada dibawah, jika keadaanmu memungkinkan untuk pulang sekarang, aku tidak bisa menahan"

Minhyun berangsur duduk ditepi tempat tidur Jennie, ia menumpu kakinya pada lantai. "Kita harus bicara"

Dag dig dug, ini yang Jennie pikir sebelumnya. 'Bagaimana jika nanti Minhyun bertanya tentang hal itu? Apa yang harus dikatakan?' Menegangkan, Jennie sendiri merasa bingung dan sulit berucap atas persoalan bodoh yang mengungkungnya itu.

"Apa yang harus dibicarakan?" Setidaknya berpura-pura bodoh.

Minhyun terkait hal serius memang tak pernah basa basi, selalu membuat siapa pun yang mengusiknya akan merasa bersalah karena alasan Minhyun yang menohok.

"Kamu sengaja menutupinya dariku?"

"Apa maksud mu? Menutupi hal apa?"

"Dulu kamu dan Klan hanya berperan tidak saling mengenal, tetapi ternyata kalian sedekat ini? —Kenapa aku merasa sangat dibodohi dengan asumsi ku sendiri"

Jennie melipat kedua tangannya didada, kali ini ia merasa pertanyaan Minhyun sungguh membuatnya kesal hanya karena mengira dirinya lah menghianati.

"Aku tidak mengerti apa yang membuatmu bisa berpikiran seperti itu. Semasa di kampus kamu tau seberapa setianya waktuku dulu selalu dihabiskan bersamamu yang bahkan aku sendiri berpartisipasi dikegiatan sosial yang sama. Kamu mengenalku lebih baik dari siapapun"

"Cukup sudah membuatku menderita selama tiga tahun kemarin, jangan menambah cerita yang tidak masuk akal hanya karena tidak mau menerima kesalahan sepenuhnya." Jennie kecewa.

Entah karena emosi atau hal menjengkel lainnya hingga sikap Minhyun terlihat begitu jauh berbeda dimata Jennie. Logikanya terdengar terlalu kekanak-kanakkan bagi dia yang berpikiran genius, Jennie merasa tak habis pikir jika Minhyun memiliki asumsi yang tidak berdasar sampai ia dibuat kesal setengah mati saat ini.

"Wanita yang bersamaku tadi itu kekasih Klan, lalu kamu akan tetap melakukan perjodohannya?"

"Apa pedulimu?"

"Maafkan perkataanku tadi" Minhyun mengusap wajahnya seolah ia baru menyadari kesalahan atas kata-katanya. "Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang kini terjadi, disaat aku tidak ada disisi mu kemarin. Semuanya seolah memberikan pelajaran untuk ku"

Decakkan kesal keluar dari mulut Jennie. Suasana mulai runyam, Minhyun tengah memancing masa lalu keduanya yang membuat Jennie malah semakin muak mengingat bagaimana Minhyun dulu meninggalkannya begitu saja.

Semua penjelasan yang sebenarnya sepertinya harus dibicarakan sekarang, meski kejadian di Rumah Sakit ketika Jennie dirawat saat itu sudah menjadi akhir dari hubungan mereka. Tapi kejanggalan memang sulit dihindari untuk tidak mengetahui penyebabnya, entah Minhyun atau Jennie sendiri masih peduli atas hal apa yang terjadi pada diri masing-masing seolah masih saling menyayangi.

"Mungkin sekarang bukan lagi hak aku untuk mengetahui apa-apa yang kamu lakukan setelah memilih mengakhiri hubungan ini. Hidupmu adalah milik mu sendiri, apa yang kamu pilih itu adalah keputusan mu" Minhyun mengakui.

Haruskah suasana ini dibanjiri air mata? Jennie terduduk begitu Minyun mengutarakannya. Terlalu lemah hati untuk menerima segala keinginan orang yang dicintai sekalipun itu sebuah perpisahan. Jennie sudah terlanjur menaruh banyak rasa sayang dan kepercayaannya, sementara Minhyun ada untuk menolak itu semua. Sungguh tidak ada hal yang lebih menyakitkan.

Jika Tuhan berkehendak untuk ia mati atau dilahirkan kembali, Jennie akan menerimanya dengan senang. Ia tidak tau bahwa memiliki perasaan terhadap seseorang akan semenyakitkan ini. Menjadi dewasa dan mengerti cinta bukanlah hal mudah yang ia kira, tidak seperti dicerita-cerita dongeng yang selalu didengar saat ia kecil dulu.

"Kita memang tidak pernah bisa selesai dengan hubungan ini"






•••

Hola, I'm back✋🏽 Jadi masih ada yang ngikutin ceritanya sampai sini?

Caffeine | Jennie • Minhyun ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang