Pertama dan Terakhir

8 0 0
                                    

"Cowok sama cewek itu nggak bisa sahabatan!"

"Buktiin."

"Asli, ada temen gue yang ngalamin. Dia cerita sendiri kemarin, bilang kalo dia sahabatan lama sama temen cowoknya dari SMP. Terus dia sadar kalo dia mandang temennya itu sebagai cowok, bukan sebagai sahabat. Ya udah deh, dia coba confess kan, eh sayang seribu sayang malah ditolak."

"Kasihan."

"Bener. Mana dia nangis semaleman setelah ditolak. Pasti sakit banget nggak tuh?"

Lebay, batin Eliz yang sejak tadi menyimak obrolan tadi sambil mengorek sisa makanan yang ada di sela gigi. Dia yang bosan menunggu kelas yang tumben belum mulai—biasanya dosen mata kuliah yang ini akan langsung datang tepat waktu—jadi tambah bosan dengan topik obrolan yang teman-temannya bincangkan. Daripada mendengar itu yang tidak berbobot menurutnya, dia menyetel musik favoritnya lumayan keras.

"Eh, buset. Si Eliz dengerin musiknya kenceng bener." Pita, yang tadi asyik mengobrol, merasa terusik dengan kelakuan teman yang duduk di depannya itu. Dia mencolek bahu Eliz, menyuruh anak itu untuk mengecilkan volume suaranya. Tidak kunjung digubris, akhirnya dia menarik paksa earphone yang menyumpal lubang telinga kanan Eliz.

Kesal, Eliz berdecak. "Apaan sih?" sewotnya.

"Lo dengerin musiknya kekencengan, bego. Kedengeran sampe sini," peringat Pita berkedok protes.

"Copot kuping lo biar nggak keganggu. Ribet bener sih?" Tak menghiraukan Pita, Eliz kembali memasang earphone dan lanjut menggila dengan dunianya.

Pita jadi ikutan kesal. Lalu dengan berani dia mencopot ujung kabel earphone Eliz dari ponselnya. Sempat dicegah yang lain agar tidak berbuat macam-macam dengan Eliz, tapi Pita tidak takut—justru sengaja membuat Eliz marah. Sesuai dugaan, Eliz pun marah.

"Pita! Berengsek—"

"Lo nggak mau digituin, kan? Sama, gue juga nggak mau lo sembarangan bikin orang kesel," sela Pita tanpa basa-basi.

Eliz termenung sejenak. Dia kemudian menyadari kesalahannya. "Sorry," lirihnya.

Mengangguk sejenak, Pita kemudian menceletuk, "Lo kelamaan bareng Aslan sih, jadi ikut-ikutan ngawur."

"Lah? Nape jadi bawa-bawa Aslan?"

"Ya, kan, lo seringnya bareng Aslan. Nggak pernah tuh gue lihat lo main bareng temen yang sama-sama cewek, mentoknya sama gue doang."

Eliz berdecih. "Ogah gue main bareng cewek. Kebanyakan drama, cepika-cepiki nggak jelas, bahasnya cinta-cintaan terus."

"Bah! Sok tau lo." Eliz dan Pita sama-sama menoleh begitu Wendy, yang dari tadi hanya menyimak, menyahut. "Jangan gara-gara lo nggak pernah main bareng cewek jadi seenaknya nge-judge ya. Nyatanya nggak selalu begitu tuh," lanjut Wendy masih tidak terima dengan ucapan Eliz tadi.

"Pret. Tadi aja bahas cinta-cintaan," sindir Eliz.

Wendy jadi tidak mengerti dengan pola pikir Eliz. Dia menyangga tangan kanan di pinggang, membalas, "Emangnya lo nggak pernah ada perasaan apa-apa ke Aslan? Heran, udah bertahun-tahun temenan tapi nggak terjadi apa-apa, gimana bisa?"

Eliz tersenyum mengejek. "Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Makanya, pas lo ngomong cewek sama cowok nggak bisa sahabatan, lo salah. Nih, ada buktinya."

"Tapi tetep aja, 'kan?" sangkal Wendy. "Yang namanya cewek sama cowok kalo sahabatan, pasti ada salah satu di antaranya nyimpen rasa. Jangan-jangan malah Aslan yang diem-diem suka lo?"

Wajah datar Eliz langsung terpampang. "Lo kalo ngomong, tolong yang lebih masuk akal dikit," sarkasnya dan langsung menyumpal telinganya dengan earphone lagi. Kali ini dia menyetel musik dengan volume normal.

Just an ArchiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang