"Heran aing."
"Heran kenapa lo? Tumben."
"Lo ngerasa nggak sih, hawanya beda pas di sini? Nggak kayak biasanya."
Namu melihat sekeliling. "Halah, parnoan lo. Mana ada? Gue ngerasa biasa aja tuh."
Mungkin benar apa yang dibilang Namu. Sambil berusaha mengenyahkan pikiran buruknya, Hobi menyusul dan berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah Namu. Mereka baru saja pulang dari les rebahan di Proton.
Sshhh ....
Entah karena telinganya yang begitu tajam dalam hal mendengar sesuatu atau memang benar dia tak salah dengar, Hobi langsung loncat di tempat dan tanpa sadar memeluk Namu. "Hih! Apa tadi?"
"Ck, apaan sih, Bi? Nggak usah meluk-meluk juga! Gue masih normal, anjir!" protes Namu.
"Lo denger nggak tadi?" tanya Hobi yang mengabaikan kekesalan Namu.
"Apaan lagi!? Gue nggak denger apa-apa!" Namu berusaha melepas pelukan Hobi. "Udah gue bilang, lo tuh kebanyakan nonton drama Korea yang horor jadi gini nih! Lepas buru—"
Srek ... srek .....
"HIH!" Namu refleks memeluk Hobi selepas mendengar sesuatu yang ganjil di telinganya—lupa kalau tadi dia berusaha melepas pelukan Hobi.
"Kan!" balas Hobi.
"Kenapa baru bilang!?"
"Gue udah bilang dari tadi, bege!"
"Ribut ae lo berdua. Berisik, tau."
Bulu kuduk mereka semakin meremang ketika sebuah bisikan melintasi indra pendengaran mereka. Patah-patah gerakan kepala mereka—menoleh ke belakang, tapi tiada satu pun yang mereka jumpai selain ... kabut?
"Lho, sejak kapan ada kabut?" heran Namu begitu menyadari ada hal aneh terjadi. "Seumur-umur tinggal di sini belum pernah ada kabut pas malem begini."
Gigi Hobi sampai bergemeletuk. "Ja-ja-ja-jangan-jangan ...."
"Jangan kangkung?"
Langsung saja Hobi menampar pipi Namu. "Lo tuh ya, lagi serius begini malah ngomongin makanan. Gue jadi laper nih."
"Heh, perut mulu yang dipikir. Gue dicuekin nih?"
Lagi. Suara itu membuat pelukan mereka semakin erat. Hobi sampai mau kencing rasanya.
"S-siapa sih!?" tanya Namu takut-takut. "Kalo berani, tunjukin wujud lo!" tantangnya.
Hobi menyentil bibir Namu, "Hih, mulut lo cantik amat kalo ngomong."
"Gue di depan kalian dari tadi," kata suara itu lagi.
Mendengar itu, mata mereka melotot dan langsung menghadap depan. Tanpa perlu disuruh, mereka sudah berteriak kencang lebih dulu.
"SETAAAN!"
"AAAH! ADA MBAK KUNTI!"
Buru-buru mereka melepas pelukan dan segera mengambil seribu bayangan—maksudnya seribu langkah. Kaki mereka memang berlari, tetapi di tempat karena tas mereka yang menempel di punggung ditarik si Mbak Kunti. Alhasil teriakan dua bocah itu semakin keras.
"Yah, malah takut mereka. Tadi katanya suruh nunjukin diri," cibir si Kunti.
"Lho, kok suaranya cowok?" heran Namu.
"Lho, bukan mbak-mbak?" Hobi ikut penasaran.
"Astagfirullah," sebut Kunti.
"Lho, kok dia bisa nyebut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just an Archive
RandomTak lain dan tak kurang, ini cuma kumpulan cerpen yang pernah kubuat. Enggak pernah aku edit lagi begitu selesai nulis, jadi maaf kalau ada typo, kelihatan berantakan, atau jalan ceritanya jelek :] Walaupun begitu, cerpen-cerpen yang ada di sini mur...