"Dia takkan kembali. Percuma saja."
Dior terus memukul dada Vikas, tak peduli dengan ucapan Xao yang sama sekali tidak membantu. Terus dan terus Dior lakukan hal yang sama sampai akhirnya dia menyerah.
"Sudah kubilang, bodoh. Percuma sa—"
"Kau tidak membantu apa-apa!" Dior menatap Xao tajam. "Kalau saja kau tak mencegahku ..., kalau saja kau membantunya ...."
Xao menaikkan sebelah alisnya. "Kau menyalahkanku sekarang?"
"Memang salahmu, 'kan!?" Dior sudah tak bisa membendung amarahnya. "Kau membiarkan Vikas bertarung sendirian padahal kau sendiri tahu lawan yang dia hadapai adalah lawan tertangguh! Tapi ... kenapa?"
Sambil mengembuskan napas, Xao menyarungi pedangnya kembali. "Dengar, ada hal yang harus kau tahu, Dior."
Tak kunjung mendapat jawaban, Xao melanjutkan, "Kakakmu ingin aku melindungimu. Dia bahkan tak peduli kalau nyawa yang jadi taruhannya. Itu semua agar 'mereka' tidak mengambil kekuatanmu.
"Kau adalah senjata yang menakutkan bagi 'mereka', Dior. Mana mungkin Vikas membiarkanmu dibunuh oleh tangan-tangan berdosa itu. Jadi, jangan sia-siakan kematiannya."
"Aku tidak mengerti ...." Dior menatap wajah Vikas yang memucat. Satu tetesan air dari mata jatuh di atasnya.
"Kau tidak perlu mengerti, Dior. Kau hanya perlu percaya."
Xao melangkah pergi untuk mengecek keadaan sekitar. Sebelum semakin jauh, dia berbalik.
"Terkadang kita harus mengorbankan sesuatu yang berharga untuk mendapatkan apa yang kita inginkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just an Archive
RandomTak lain dan tak kurang, ini cuma kumpulan cerpen yang pernah kubuat. Enggak pernah aku edit lagi begitu selesai nulis, jadi maaf kalau ada typo, kelihatan berantakan, atau jalan ceritanya jelek :] Walaupun begitu, cerpen-cerpen yang ada di sini mur...