Benda putih berukuran kotak pipih yang ada di atas meja bergetar pendek. Tanganku berhenti mengetik dan meraih ponsel usangku. Ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Keningku berkerut. Namun, keherananku tidak berakhir sampai di situ karena tiba-tiba nomor itu langsung main menelepon saja tanpa presetujuanku. Merasa agak panik karena aku tipe orang yang tidak suka berbicara lewat telepon, tapi pada akhirnya kuangkat panggilan itu.
"Ini betul nomornya Bang Farel, 'kan?" Seseorang di sana langsung bertanya begitu sambungan telepon terhubung.
"Ya," jawabku. "Maaf, ini siapa?"
"Ini Fadil, Bang." Belum sempat aku dibuat terkejut begitu mendengar namanya, orang itu tanpa basa-basi melanjutkan, "Mama barusan meninggal, Bang. Bang Farel bisa pulang buat ngurus—"
Langsung saja kuputuskan teleponnya dan membuang ponselku ke kasur. Perhatianku kembali pada layar laptop, berniat lanjut mengetik skripsi, tapi sia-sia sebab fokusku sudah buyar pada panggilan tadi. Aduh, kenapa setiap sedang ada niat mengerjakan sesuatu selalu saja ada hal yang mengganggu sih?
Sambil menopang wajah, mengusapnya kasar, lalu mengembuskan napas berat, aku kembali teringat dengan kenangan-kenangan masa lalu yang membuatku seperti sekarang. Aku lahir di keluarga yang hanya mementingkan anak emas—anak yang unggul di bidang akademik menurut pandangan mereka. Hanya karena aku lebih suka menuangkan isi kepalaku lewat sebuah gambar, atau mengekspresikan perasaanku lewat sebuah lirik dan melodi, itu hanyalah sampah bagi mereka.
Jangankan pulang ke rumah, mengingat mereka saja aku sudah tidak sudi lagi.
Teleponku kembali berdering. Aku berdecak, lupa mematikan nada dering. Namun, karena terus-terusan berdering—ini yang kelima kalinya—aku memutuskan untuk mengangkatnya dengan berat hati.
"PULANG KAMU, DASAR ANAK SIALAN!"
Itu kalimat pertama yang kudengar. Sungguh nyaring suaranya, serasa gendang telingaku akan pecah bila diteriaki lagi seperti tadi. Tak perlu bertanya siapa yang berbicara pun aku sudah tahu. Kemudian terdengar suara lembut yang mencegah ayahku untuk melanjutkan ucapannya dan menyebut namaku.
"Farel?"
Itu kakak perempuanku, Fina.
"Pulang ya? Demi mama kamu," sambungnya.
Demi? "Kan, ada anak-anak kesayangannya yang bisa ngurus, kenapa harus minta tolong ke orang yang udah dibuang?"
Jariku buru-buru memencet tombol merah dan mencopot kartu SIM agar tidak menerima panggilan apa pun. Aku juga langsung me-uninstall seluruh aplikasi yang menggunakan nomor teleponku. Biarlah orang menyebutku anak durhaka atau sebagainya, aku tak peduli.
Sungguh, aku tidak ingin lagi kembali ke rumah.
Namun, sekeras apa pun aku menghindar, tetap saja mereka terus menghubungiku bahkan sampai akun-akun sosial mediaku mereka bisa menemukannya dan spam chat. Walau ibuku sudah dimakamkan, mereka tetap memintaku pulang. Aku tidak mengerti kenapa.
"Akhirnya kamu jawab teleponku juga," ucap Fina begitu aku memutuskan untuk mengangkat teleponnya setelah ratusan panggilannya selama seminggu kuabaikan.
"Langsung ke intinya aja, Kak," tukasku.
"Oke, maaf udah ganggu waktumu. Farel, kamu tau semua soal Fadil, 'kan?" tanya Fina.
Aku mengerutkan kening, diam sejenak, lalu paham ke mana arah pembicaraannya. "Sekarang baru mau percaya?"
"Aku minta maaf karena dulu nggak percaya dengan ucapanmu. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan kematian Mama, padahal sebelumnya sehat-sehat aja. Aku curiga ada orang yang melakukan sesuatu pada Mama," jelas Fina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just an Archive
RandomTak lain dan tak kurang, ini cuma kumpulan cerpen yang pernah kubuat. Enggak pernah aku edit lagi begitu selesai nulis, jadi maaf kalau ada typo, kelihatan berantakan, atau jalan ceritanya jelek :] Walaupun begitu, cerpen-cerpen yang ada di sini mur...