Sakit

9 1 0
                                    

Kelas Andi sedang kosong dikarenakan guru yang seharusnya mengajar cuti setelah melahirkan. Dia dan teman-temannya hanya diberikan tugas yang harus dikumpulkan nanti sebelum istirahat. Tidak afdal rasanya kalau mengerjakan tugas itu sendiri, alias tentu saja satu kelas bekerja sama untuk menyelesaikannya. Kelas menjadi gaduh karenanya.

Andi memotret jawaban milik temannya dengan ponselnya, lalu kembali ke bangkunya untuk menyalinnya di buku tugas. Bukan Andi namanya kalau mengerjakan tugas tidak ditemani dengan alunan lagu. Maka sebelum memulai, dia memasang earphone di telinga, menyetel playlist kesukaannya, dan kebetulan lagu pertama yang terputar adalah lagu favoritnya, membuatnya semakin semangat mengerjakan tugas. Namun, karena saking semangatnya, dia sampai ikut menyanyikan lirik dari lagu yang terputar dengan lantang.

"Nanairo no nichijō o susume, eien ni hikare you'll shine like a diamond!" Tangannya ke atas dengan telunjuk mengacung, matanya terpejam, benar-benar menghayati setiap melodi lagunya.

"Ya elah, mulai deh Andi nge-wibu. Berisik woi! Suara lo jelek banget, anjir!" protes beberapa temannya yang terganggu dengan suara Andi.

Yang diprotes mana dengar, lubang telinganya saja masih tertutupi earphone. Barulah dia berhenti ketika lagunya berhenti dan ponselnya bergetar panjang tanda panggilan masuk. Andi berdecak sejenak sebelum mengangkat teleponnya. "Halo?"

"Andi ...."

Jantung Andi seketika terasa berhenti berdetak begitu mendengar suara itu—suara ibunya yang terdengar seperti menahan sakit. Semangatnya yang tadi memuncak, kini menguap semua setelah mendengar suara ibunya. “Ma? Mama kenapa?” tanyanya sedikit panik.

Andi …, sakit ….”

“Ya Allah, Mama! Jangan bikin aku panik, Ma! Mama kenapa? Di mana? Biar aku ke sana, Ma,” seru Andi yang sudah tidak bisa mengendalikan emosinya, membuat teman sekelasnya mulai ikutan panik karena ucapannya.

“Nyokap lo kenapa, Di?” tanya Hilmi, teman sebangkunya.

“Gue juga nggak tahu, Mi. Nyokap tadi bilang sakit, mana nada suaranya bikin pikiran makin nggak karuan lagi,” jawabnya cemas sambil terus memanggil ibunya di seberang sana, tetapi tiba-tiba sambungan teleponnya terputus. “Yah, anjir! Kenapa mati sih?” paniknya.

“Lo tenang dulu, Di. Mending lo pulang buat lihat keadaan nyokap lo,” usul Hilmi. Yang lain pun ikut mengusulkan hal yang sama padanya.

Andi setuju dengan usulan teman-temannya. Pikirannya jadi sedikit kacau setelah ibunya tiba-tiba menelepon dan berkata sakit. Dengan jurus kilatnya, dia langsung mengambil kunci motornya. “Mi, nanti bilangin ke guru yang ngajar ya, kalo gue pulang,” mohonnya.

“Sip, bisa diatur itu mah,” sahut Hilmi.

“Sekalian kerjain tugas gue ya!”

Sebelum Hilmi sempat protes, Andi langsung ke parkiran dan mengeluarkan motornya. Dia berharap semoga perjalanannya ke rumah bisa berjalan lancar. Namun, baru saja dia berhasil keluar dari sekolah tanpa ketahuan, mulai ada satu masalah yang muncul ketika dia berhenti karena lampu merah.

"Eh, Ganteng. Mau ke mana?"

Andi bergedik geli ketika dia sadar ada dua banci jalanan yang menggodanya. Apalagi salah satu dari mereka mencolek lengannya. "Eh-eh, ngapain pegang-pegang? Minggir!" usirnya.

"Ih, kok galak sih? Jangan galak-galak dong, nanti cepet tua lho," ucap salah satu banci dengan genit.

Dia tidak bisa berlama-lama di sana. Daripada menunggu lampu hijau, dia bertekad untuk menerobos lalu lintas. Andi memajukan motornya sedikit, menoleh kanan-kiri, memastikan perempatan sudah sepi, lantas dia langsung tancap gas, membuat dua banci yang akan mendekatinya kaget karenanya.

"Woi! Kurang ajar lo!" teriak banci itu dengan suara baritonnya yang keluar.

Andi menoleh ke belakang sejenak dan menjulurkan lidahnya. Namun, yang di dapatinya bukan wajah kesal banci-banci itu, melainkan seorang polisi lalu lintas yang mengejarnya di belakang.

"Anjir!" Dia menaikkan kecepatan motornya agar lolos dari kejaran polisi.

Beberapa menit kemudian, Andi mencoba menoleh ke belakang. Tidak ada yang mengejarnya lagi. "Oh? Pak polisinya capek ngejar gue ya?" tebaknya sambil cengengesan.

Namun, tanpa diduganya, tiba-tiba polisi itu muncul tepat sebelum Andi melewati persimpangan beberapa meter di depannya. Fokusnya tiba-tiba pecah, tanpa sadar berucap dengan lantang, "Eh, monyet-monyet! Anjir!"

"Berhenti kamu!" seru polisi itu dengan pengeras suara yang dibawanya. Kecepatan motornya diperlambat, membuatnya sejajar dengan motor Andi. "Ke tepi sekarang!" serunya lagi.

Dengan terpaksa, akhirnya Andi menepi. Begitu polisi itu mendekatinya, buru-buru dia menjelaskan, "Pak, iya, saya tahu kalau saya salah udah ngelanggar lalu lintas. Tapi, plis, Pak. Ibu saya di rumah, tadi barusan nelpon saya, katanya beliau sakit."

"Melanggar tetaplah melanggar," tegas polisi itu. "Boleh saya lihat kelengkapan surat-suratnya?"

"Astagfirullah, Bapak ini berdosa banget. Ibu saya sedang sakit, Pak. Masak Bapak tega banget?"

Tetap tidak peduli, polisi itu menggerakkan tangannya tanda meminta benda yang dimaksud tadi.

Andi berdecak, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang berwarna biru, lalu meletakkannya di atas telapak tangan polisi itu. "Nih, Pak, buat ngopi. Oke? Saya ada urusan penting banget," bisiknya.

Polisi itu menaikkan sebelah alisnya, masih bergeming. Andi mengembuskan napas, lalu memberi uang yang sama selembar lagi. "Cukup, Pak?"

Berdeham, polisi itu menyaku uangnya. "Ya udah, sana pergi. Salam untuk ibumu, semoga lekas sembuh. Tapi jangan lagi-lagi melanggar ya?" peringatnya.

"Siap, Pak!" Tanpa menunggu lama, Andi langsung melanjutkan perjalanannya. Duh, abis udah duit mingguan gue, sesalnya selama di jalan.

Tak sampai sepuluh menit, akhirnya Andi sampai di rumahnya. Karena terburu-buru, dia sampai lupa memarkirkan motornya dengan benar, membuat motornya jatuh.

"Hah! Astagfirullah!" kesalnya. Namun, dia langsung teringat ibunya. Langsung aja Andi masuk tanpa memedulikan motornya.

"Ma! Mama!" Andi mencari keberadaan ibunya di seluruh penjuru rumah, sampai akhirnya dia menemukannya. "Ma! Mama kenapa?" tanyanya panik begitu melihat bahu ibunya bergetar.

Ibunya menjawab sambil sesekali sesenggukkan. "Andi ..., si Loli mati ...."

Andi langsung melihat apa yang dimaksud ibunya. Dia langsung menepuk jidatnya. "Astaghfirullah, Ma! Jadi tadi Mama bilang sakit tuh cuma gara-gara ini?" herannya.

"Iya, Andi. Hati Mama yang sakit," jawab ibunya sambil lanjut menangis.

"Ya Allah, Ma! Itu cuma ikan!" seru Andi, tak habis pikir dengan ibunya. []

.
.
.
.
.

Lagu yang dinyanyikan Andi: TXT - Everlasting Shine

Just an ArchiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang