Aku adalah saksi bagaimana kejamnya mereka
membunuh dan menyiksa kaumku.Aku adalah saksi bagaimana pilunya ratapan
dan tangisan seorang istri yang kehilangan suaminya.Aku adalah saksi bagaimana teriakan kesakitan
dan suara-suara ledakan yang membunuh anak-anaknya.Aku adalah saksi bagaimana kacaunya semua orang saat para nippon berhasil datang ke kota kami.
Seperti saat ini, para nippon itu berhasil masuk ke dalam rumah ini, tempat dimana aku belajar, tumbuh, bermain, dan berbagi cerita dengan ayah dan ibuku. saat ini, usiaku masih 14 tahun. Terdengar suara-suara yang kuyakini bahasa nippon, ah, ada juga bahasa melayu.
Ibu berbisik padaku, "Sayang, pergilah, pergilah ke dalam hutan! jangan khawatir, ibu dan ayah akan menyusul, jangan menatap ke belakang! apapun yang terjadi, masuklah kedalam hutan!"
Aku menggeleng, "Tidak, bu! bagaimana dengan ayah dan ibu!? mereka bisa membunuh kalian! tidak! aku tidak akan pergi jika tidak bersama kalian! kalian belum menepati janji kalian untuk berlibur ke netherland denganku!"
"Dengarkan ibu. kau adalah cahaya kami, kebanggaan kami, permata kami. Kau harus pergi. sembunyilah di dalam hutan! Jangan khawatirkan kami, ya? pergilah, ayah dan ibu menyayangimu," Ibu tersenyum, menawan sekali senyumnya itu.
Ayah berteriak, "Lari, Elise! Lari! Pergi!"
Aku masih membeku, airmata keluar dari kelopak mataku, bagaimana ini?
"LARI, ELISE VAN ADGER! BERLARILAH ATAU AKU TIDAK AKAN MENGANGGAPMU SEBAGAI PUTRIKU LAGI!"
Dengan berat hati, aku langsung berlari, melewati taman belakang rumah yang telah hancur, bersembunyi dan menyelinap, keluar dari rumah mewah kesayanganku yang penuh dengan darah. Berlari menuju hutan, agar bisa bersembunyi.
Aku mendengar teriakan ibu memanggil namaku, bersamaan dengan suara tembakan. Aku sudah cukup besar untuk tau, jika orangtuaku sudah gugur. Dengan tangisan yang belum reda, aku berlari, masuk ke dalam hutan belakang yang lebat, dengan kaki yang lecet, dan baju yang koyak karena tersangkut ranting.
Hingga gelap, juga turun hujan, aku masih berlari, terseok-seok, sambil berdoa untuk keselamatanku dan ketenangan orangtuaku. Rambut blonde ku basah dan lepek karena kehujanan. Udara sangat dingin, menusuk ke dalam tulang, karena pakaian yang kugunakan tidak cukup menghalau rasa dingin. Ah, andai aku sudah dewasa, tubuhku sudah setinggi ibu, dan kemampuan menembakku sudah sehebat ayah. Aku pasti bisa mengalahkan para nippon itu. Ya tuhan, tolong bantu aku agar bisa bertemu bisa segera pergi dari tempat ini.
Lemah. Kau lemah. Benar-benar payah. Bisikan itu terus menggema di gendang telingaku. Membuatku frustasi, tidak! aku belum boleh menyerah! aku harus terus berlari! ya! ibu sudah mengorbankan nyawanya agar aku bisa selamat, dan aku harus selamat, atau pengorbanan orangtuaku sia-sia. Benar. tapi tenagaku sudah habis. ah, apa ini sudah akan berakhir, tuhan? kumohon, berikan yang terbaik padaku.
"Elise! Berhenti! Kumohon!" Aku mendengar teriakan seorang pria di belakangku. Aku berbalik, menatap kosong ke arah pria itu. Pengkhianat itu, aku sangat membencinya. Tubuhku kelelahan. Aku tau, sejauh apapun aku berlari, aku takkan bisa menyelamatkan diri dari orang-orang ini.
"Itu dia! Itu anaknya! Tembak dia!" bersamaan dengan suara tembakan, aku tersungkur ke tanah. Kepalaku pusing, seketika pandangan menjadi buram. Kepalaku terasa sakit sekali. Hingga aku terpejam, aku tak tau apa yang akan terjadi pada diriku selanjutnya.
TBC
────────────────────────────────────
halo! ehehe, dikit ya? ahahahah gomen, segini ae dulu, jangan lupa vote sama komen. diolch, cariad! /semirik sangat miring
sekian terima ikemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
ꕤ 𖥻. go bαck! | slow updαte ★̲ ▸
Fantasy★☆.ᥕᥱᥣᥴ᥆꧑ᥱ t᥆ ꧑ᥡ b᥆᥆k ! ^^ ────────────── Hei, tuan. Ini bukanlah tentang seorang yang kehilangan barang kesayangannya. Bukan pula seorang yang kehilangan orang yang disayang. Ini kisah tentang dendam, iri, kesabaran dan keteguhan. Maukah kau mende...