'delapanbelas

105 18 14
                                    

Lingga melangkah gontai menuju basecamp gangnya. Wajahnya setengah pucat dan lesu. Bahkan berkali-kali hela nafas saking pusingnya mikir.

"Lo kenapa, Ngga?" Hanan melirik konco kentelnya itu heran, habisnya jarang Lingga loyo kaya gitu. Paling-paling masalahnya sama pacar kalau nggak lupa kasih makan kucing.

Lingga duduk disalah satu sofa basecamp, lalu mulai merokok santai. "Coy, gua boleh minta tolong nggak?" Pintanya tiba-tiba pada teman-teman gangnya, termasuk pada Hanan yang tengah bermain game konsol.

"Hm? Apa bang?" Tanya Radit sembari mendongakan kepala menatap Lingga. Lingga kembali menghela nafas, lalu menjentikkan puntung rokok pada asbak. Tangan kirinya meraih ponsel lalu mengutak-atik sejenak.

"Incer motor yang gua kirim fotonya di grup."

#.

Felix menghela nafas, kedatangannya di gang sempit ini belum terlambat. Ia memarkirkan motor lumayan jauh dari gang sempit tersebut, ada lah sekitar 400 meter jauhnya.

Cowok Australi ini menggendong sebuah tas yang cukup berat, beberapa keperluan penting ada didalamnya. Secara sembunyi-sembunyi, Felix mendekati salah satu bangunan tua yang hampir rubuh pada sisi gang sempit itu.

Suasana bangunan tersebut cukup tertutup, tidak banyak akses masuk kecuali dari jendela dan area depan. Felix memanjat salah satu sisi pagarnya, kemudian meloncat masuk. Hampir saja oleng karena beban yang ia bawa didalam tas, akibatnya bisa fatal kalau tasnya terjatuh.

Dan ya, bangunan tua ini lah markas Felix dan teman-temannya untuk berkumpul sepulang sekolah. "Woi bule!" Seseorang memanggil Felix ketika cowok itu baru saja memasuki area bangunan.

"Brisik anjing," pelan-pelan Felix menaruh tas hitamnya. Belasan temannya mendekati Felix, penasaran dengan bule satu itu.

"Lo ngerakit bom lagi?" Tanya salah seorang temannya— Wildan. Felix menggeleng pelan, "cuma smoke bomb, gua belom berani rakit bom lagi, terakhir gua hampir dikasusin sekolah." Ungkap Felix lalu mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam tasnya.

Parang, celurit, bom asap, gear motor, dan linggis. Beberapa diantaranya segera mengambil peralatan dari Felix, seperti biasa.

"Semua pada bawa odol kan? Inget, sekolah sebelah bakalan bawa gas air mata." Peringatan dari Wildan diangguki semua orang termasuk Felix.

"Lima belas menit lagi, semuanya harus siap prepare, jangan sampe ada yang ketinggalan kaya minggu lalu." Felix menyimpan tasnya baik-baik, dirinya sendiri sudah siap dengan membawa satu buah celurit.

Terakhir kali, ia mendapat luka sayatan panjang di area paha, gara-gara terkena parang lawan dan Felix sendiri nggak bersenjata apa-apa. Untung cowok ini nggak gampang mati.

Cowok bule ini bersandar pada salah satu tiang bangunan, merokok sejenak menghilangkan rasa gugupnya. Tetapi pikirannya lain, 'ugh, laper, pengen bakso tusuk:('.

"Woy, bule." Panggilan Wildan membuat bengongan Felix buyar. Buru-buru ia mematikan puntung rokoknya dengan sepatu dan mendekati leadernya itu.

"Lo siap?" Wildan terkekeh menepuk pundak Felix. Cowok itu mengangguk mantap, tanda sudah siap melaksanakan tawuran pada barisan depan.

"Jangan pincang kaya dua minggu lalu." Peringatan Wildan diterima Felix, urusan luka bisa menanti. Sekarang waktunya membabat lawan dengan bringas.

#.

Felix kembali pada bangunan tua itu jam lima sore. Dimana tubuhnya masih utuh, hanya sobek biasa di bagian lengan. Ia bahkan membopong beberapa temannya menuju mobil karena terluka parah.

"Gua bakalan ke UGD, bawa mereka semua. Thanks for today, bule." Wildan menepuk pundak Felix sebelum pergi meninggalkan cowok itu dengan mobilnya.

Felix mengangguk dan selalu heran terhadap leadernya satu itu, Wildan jarang terkena luka, entah kenapa. Cowok bule ini istirahat sejenak pada bangunan tua itu sampai petang. Seperti biasa, penglihatan Felix langsung kabur ketika sudah selesai berkelahi.

Ia merapikan kembali alat-alat tawurannya pada tas miliknya. Beberapa ada yang hilang, tapi ya sudahlah, yang penting hari ini sekolahnya menang.

Felix merogoh kunci motor Abimanyu dari saku seragamnya. 'Waktunya pergi ke klinik,' begitu pikirnya. Felix sedikit terkekeh, mengingat dokter klinik langganannya itu mungkin akan bosan karena ia datang tiap kamisnya.

Bule remaja ini segera menggendong tas yang sama menuju motor milik Abimanyu. Felix segera menaiki Honda CBR berwarna hitam yang tampak tak sepadan dengannya, habis tubuh Felix kecil sekali.

Tanpa helm, cowok itu nekat menerabas jalan raya. Mumpung tidak ada hari tilang, jadi Felix bisa leluasa berkendara. Cowok itu setengah perjalanan menuju klinik, tanpa tahu ada beberapa motor yang mulai mengikutinya.

"Bang Lingga, gua nemu motor yang lo incer, rencananya apa?"

"Tabrakin."

STM'79, ft. SKZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang